Contoh Revolusi Tiongkok 1949

( 20 halaman )





Revolusi Tiongkok Pertama tahun 1925-1927 ialah sebuah revolusi proletarian yang otentik. Tetapi revolusi tersebut gugur sebelum waktunya lantaran kebijakan-kebijakan keliru yang diinstruksikan oleh Stalin dan Bukharin, yang menempatkan klas pekerja Tiongkok di bawah borjuasi yang konon demokratis pimpinan Chiang Kai-shek. Partai Komunis Tiongkok (PKT) melebur ke dalam Kuomintang (KMT). Bahkan, Stalin mengundang Chiang Kai-shek untuk menjadi anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional (Komintern).
Kebijakan pembawa malapetaka ini mengakibatkan kekalahan yang katastrofik pada tahun 1927 ketika sang “borjuis-demokrat” Chiang Kai-shek mengorganisir pembantaian terhadap kaum Komunis di Shanghai. Penghancuran klas pekerja Tiongkok memilih tabiat Revolusi Tiongkok selanjutnya. Sisa-sisa Partai Komunis melarikan diri ke pedesaan. Di sana mereka mulai mengorganisir perang gerilya berbasis kaum tani. Secara mendasar ini mengubah jalannya Revolusi.

Kebusukan Borjuasi
Revolusi 1949 berhasil lantaran kebuntuan feodalisme dan kapitalisme di Tiongkok. Nasionalis-borjuis Chiang Kai-shek, yang merebut kekuasaan pada tahun 1927 di atas mayat-mayat para pekerja Shanghai yang tercabik-cabik, mempunyai dua dekade untuk memperlihatkan apa yang sanggup diperbuatnya. Tetapi, pada alhasil Tiongkok semakin bergantung pada imperialisme, problem agraria tetap tidak terselesaikan, dan Tiongkok masih merupakan sebuah negeri yang terbelakang, semi-feodal, dan semi-kolonial. Borjuasi Tiongkok, bersama dengan semua klas ber-properti lainnya, bertali-temali dengan imperialisme dan membentuk sebuah blok reaksioner untuk menentang perubahan.
Kebusukan borjuasi Tiongkok tersingkap manakala kaum imperialis Jepang menyerang Manchuria pada tahun 1931. Semasa usaha untuk mengalahkan para penyerbu Jepang, kaum Komunis Tiongkok memperlihatkan sebuah front-persatuan kepada kaum borjuis-nasionalis Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek. Tapi, dalam kenyataannya level kerjasama antara pasukan-pasukan Mao dan KMT semasa Perang Dunia Kedua minim adanya. Aliansi PKT dan KMT ialah front-persatuan dalam namanya saja.
Perjuangan Tiongkok melawan Jepang terjadi seiring dengan berkobar dan meluasnya Perang Dunia Kedua (PD II). Kaum Komunis mempunyai andil terbesar dalam usaha melawan Jepang. Di lain pihak pasukan-pasukan KMT lebih mengkonsentrasikan diri untuk memerangi kaum Merah. Pada Desember 1940, Chiang Kai-shek menuntut biar Tentara Baru Keempat PKT angkat kaki dari Provinsi Anhui dan Provinsi Jiangsu. Ini mengakibatkan bentrokan besar antara Tentara Pembebasan Rakyat (TPR atau PLA, People’s Liberation Army) dan pasukan-pasukan Chiang. Beberapa ribu orang tewas. Ini menandai berakhirnya apa yang disebut-sebut sebagai front-persatuan.
PD II berakhir dengan semakin menguatnya imperialisme AS dan Rusia-nya Stalin. Konflik yang tak terelakkan di antara mereka sudah terlihat terperinci sebelum tamat Perang tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945, pasukan-pasukan Soviet meluncurkan Operasi Ofensif Strategis Manchuria (Manchurian Strategic Offensive Operation) untuk menyerang Jepang di Manchuria dan di sepanjang perbatasan Tiongkok-Mongolia. Dalam sebuah serangan kilat, tentara Soviet menghancurkan tentara Jepang dan menduduki Manchuria. 700 ribu pasukan Jepang yang ditempatkan di wilayah itu menyerah. Tentara Merah menaklukkan Manchukuo, Mengjiang (pedalaman Mongolia), belahan utara Korea, belahan selatan Sakhalin, dan Kepulauan Kuril
Kekalahan kilat yang dialami Tentara Kwantung-nya Jepang oleh Tentara Merah tidak disebut-sebut oleh siapapun kini ini. Tapi ini merupakan faktor yang signifikan dalam menyerahnya Jepang dan berakhirnya PD II. Ini juga merupakan unsur yang signifikan dalam perhitungan Washington di Asia. Kaum imperialis AS takut jangan-jangan Tentara Merah Soviet akan eksklusif bergerak melalui Tiongkok dan memasuki Jepang, sebagaimana Tentara Merah Soviet telah mencapai Eropa Timur. Jepang alhasil mengalah kepada AS setelah Angkatan Udara AS menjatuhkan bom-bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tujuan utama dari penghancuran kota-kota Jepang ini ialah untuk memperlihatkan kepada Stalin bahwa kini AS telah mempunyai senjata gres yang mengerikan dalam gudang senjatanya.
Di bawah kondisi “menyerah tanpa syarat”-nya Jepang yang didiktekan oleh Amerika Serikat, pasukan Jepang diperintahkan untuk mengalah kepada pasukan Chiang, dan bukan kepada kaum Komunis di wilayah-wilayah Tiongkok yang diduduki. Sebab-musabab pasukan Jepang mengalah kepada Uni Soviet semata-mata lantaran KMT tidak mempunyai pasukan di sana. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Jepang biar tetap berada di pos mereka untuk mendapatkan KMT dan tidak menyerahkan senjata mereka kepada kaum Komunis.
Setelah Jepang menyerah, Presiden AS Truman sangat terperinci berkenaan dengan apa yang dimaksudnya dengan “menggunakan Jepang untuk membendung kaum Komunis.” Dalam memoarnya ia menulis, “Sepenuhnya terperinci bagi kita bahwa bila kita memerintahkan Jepang untuk segera meletakkan senjata mereka dan berangkat ke daerah pesisir, segenap negeri akan diambilalih oleh kaum Komunis. Karena itu kami harus mengambil langkah yang tidak biasa, yakni memakai lawan sebagai sebuah garnisun hingga kita sanggup mengangkut pasukan Nasional Tiongkok ke Tiongkok Selatan dan mengirim Angkatan Laut untuk menjaga kota-kota pelabuhan laut.”

Stalin dan Revolusi Tiongkok
Posisi apa yang diambil Moskow dalam semua masalah ini? Mula-mula Tentara Merah mengizinkan TPR untuk memperkuat posisinya di Manchuria. Tapi, pada November 1945 Tentara Merah berbalik dari posisi semula. Chiang Kai-shek dan imperialis AS merasa ngeri terhadap prospek pengambilalihan Komunis atas Manchuria setelah kepergian Soviet. Karena itu Chiang menciptakan kesepakatan dengan Moskow untuk menunda penarikan-mundur mereka hingga ia selesai menempatkan cukup anak buah yang paling terlatih serta perlengkapan modernnya ke wilayah tersebut. Pasukan KMT kemudian diangkut ke wilayah itu dengan pesawat udara Amerika Serikat. Lalu pihak Rusia mengizinkan mereka untuk menduduki kota-kota kunci di Tiongkok Utara. Sementara itu pedesaan tetap di bawah kontrol PKT.
Kenyataannya, Stalin tidak mempercayai pemimpin-pemimpin PKT. Ia tidak yakin bahwa mereka akan berhasil merebut kekuasaan. Birokrasi Moskow lebih tertarik untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan pemerintahan Chiang Kai-shek daripada mendukung Revolusi Tiongkok. Setelah Revolusi, dengan getir Mao mengeluhkan bahwa duta besar ajaib terakhir yang meninggalkan Chiang Kai-shek ialah duta besar Soviet. Stalin mendesak Mao untuk bergabung dalam pemerintahan koalisi dengan Kuomintang, sebuah gagasan yang mula-mula diterima Mao:
“Sementara perang berlanjut, Mao Tse-tung telah menuntut biar kaum Nasionalis sepakat untuk mendirikan sebuah pemerintahan koalisi guna menggantikan pemerintahan satu-partai mereka, dan Stalin dan Molotov telah menyampaikan bahwa kedua pihak Tiongkok harus bertemu. Pada 14 Agustus 1945, Uni Soviet bergerak selangkah lebih jauh. Ia merundingkan dengan pemerintahan Chiang Kai-shek sebuah Perjanjian Persahabatan dan Aliansi Tiongkok-Soviet (Sino-Soviet Treaty of Friendship and Alliance). Selanjutnya Stalin menasihati kaum Komunis Tiongkok bahwa pemberontakan mereka “tidak mempunyai prospek” dan bahwa mereka harus bergabung dengan pemerintahan Chiang serta membubarkan tentara mereka.”
“Pada hari yang sama, kaum Nasionalis menandatangani Perjanjian mereka dengan Uni Soviet, Chiang Kai-shek – atas desakan Jenderal Hurley – mengundang Mao Tse-tung biar mengunjungi Chungking untuk ikut dalam diskusi.” (Edward E. Rice, Mao’s Way, p.114, pengutamaan saya, AW)
Pada akhirnya, lantaran tak terelakkan, perundingan-perundingan gagal dan perang sipil dimulai lagi. Uni Soviet menyampaikan dukungan yang sangat terbatas kepada TPR, sementara AS membantu kaum Nasionalis dengan pasukan dan perlengkapan militer senilai ratusan juta dollar. Jenderal Marshall mengaku bahwa tidak ada bukti apapun bahwa Uni Soviet memasok TPR. Faktanya, TPR merebut senjata-senjata yang ditinggalkan Jepang, termasuk beberapa tank. Belakangan, sejumlah besar pasukan KMT yang terlatih dengan baik mengalah dan bergabung dengan TPR dengan membawa persenjataan mereka. Senjata-senjata tersebut hampir semuanya dibikin di AS.
Pasukan-pasukan Soviet secara sistematis membongkar basis industrial Manchuria (senilai hingga 2 milyar dollar), memuat ke kapal seluruh pabrik-pabrik ke USSR. Faktanya, sebagaimana telah kita lihat, Stalin skeptis wacana prospek keberhasilan Mao, dan berusaha untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan Chiang Kai-shek, sebagaimana ditunjukkan oleh Schram: “Polanya terus dibikin kabur baik oleh kesibukan Stalin dengan keamanan negara Soviet, maupun oleh tidak adanya antusiasmenya terhadap sebuah gerakan revolusioner yang dinamis yang mungkin tidak sanggup dikendalikannya.” (Stuart Schram, Mao Tse-Tung, hlm. 239.)
Jadi, benih-benih konflik Sino-Soviet sudah ada semenjak awal: bukan sebuah konflik ideologis, ibarat yang seringkali dikemukakan, tetapi sekadar sebuah konflik kepentingan antara dua birokrasi yang saling bersaing, yang masing-masing dengan penuh kewaspadaan membela kepentingan-kepentingan nasional sempit, wilayah, sumber daya, kuasa, dan hak-hak istimewa mereka. Nasionalisme yang sempit ini sepenuhnya kontras dengan internasionalisme proletariannya Lenin dan Trotsky. Lenin menyatakan dalam lebih dari satu kali kesempatan bahwa ia akan bersedia untuk mengorbankan Revolusi Rusia bila itu diharapkan untuk mencapai kemenangan revolusi sosialis di Jerman.
Bila Stalin dan Mao berdiri di atas aktivitas Leninisme, sudah seharusnya mereka akan segera mengedepankan penciptaan sebuah Federasi Sosialis Uni Soviet dan Tiongkok, yang akan memberikaan faedah yang luar biasa besar bagi seluruh rakyat. Akan tetapi hubungan-hubungan mereka malah didasarkan pada kepentingan-kepentingan nasional yang sempit dan kalkulasi-kalkulasi yang sinis. Pada alhasil ini menjadikan situasi yang sangat-sangat buruk, di mana para “kamerad” Rusia dan Tiongkok menggelar “perdebatan” dengan memakai bahasa roket dan selongsong artileri mengenai perbatasan yang dibentuk pada kurun ke-19 oleh seorang Tsar Rusia dan Kaisar Tiongkok.

AS Membantu Chiang Kai-shek
Pihak Amerika berambisi untuk menciptakan Tiongkok menjadi wilayah efek AS (yang dalam praktik, sebuah negeri semi-koloni) setelah PD II. Tetapi, setelah semua pengalaman kelam PD II, rakyat Amerika tidak bakalan siap untuk mendukung sebuah peperangan gres dalam rangka menaklukkan Tiongkok. Yang lebih penting, tentara-tentara Amerika pun tidak akan siap untuk bertempur dalam peperangan ibarat itu. Karena itu, ketidakmampuan imperialisme AS untuk mengintervensi Revolusi Tiongkok ialah sebuah unsur penting dalam rumusan politik.
Dalam kondisi begini, kaum imperialis AS terpaksa melancarkan manuver dan intrik. Washington mengutus Jenderal George C. Marshall ke Tiongkok pada 1946, yang katanya bertujuan untuk menyusun perundingan-perundingan antara TPR-nya Mao dan Chiang Kai-shek. Tetapi, dalam prakteknya, ternyata tujuannya ialah untuk memperkuat Chiang dengan menyediakan senjata, uang, dan perlengkapan dalam rangka membangun pasukan Nasionalis sebagai persiapan untuk melancarkan sebuah opensif yang baru. Manuver ini tidak memperdaya Mao begitu saja. Mao sepakat untuk berpartisipasi dalam perundingan-perundingan, tetapi terus mempersiapkan diri untuk menghadapi bangkitnya permusuhan.
Kendati imperialisme AS tidak bisa berintervensi dalam perang sipil 1946-9, Washington menyampaikan uang, senjata, dan pasokan dalam jumlah yang sangat besar kepada kubu Nasionalis. Amerika Serikat membantu KMT dengan pasokan-pasokan militer gres senilai ratusan juta dollar. Tapi, banyak senjata yang dikirimkan Washington di kemudian hari justru dipakai oleh orang-orang Vietnam untuk melawan tentara AS, lantaran hampir semua perangkat keras militer itu direbut oleh pasukan-pasukan Mao.
Sejak Konferensi Menteri-menteri Luar Negeri Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Inggris di Moskow pada Desember 1945, Amerika Serikat telah menganut “kebijakan non-intervensi dalam masalah internal Tiongkok”. Tentu saja ini sebuah sandiwara belaka, sama saja dengan kebijakan “non-intervensi” di Spanyol semasa Perang Sipil, ketika “negara-negara demokrasi” memboikot Republik Spanyol, sementara Hitler dan Mussolini mengirim senjata dan anak buah mereka untuk mendukung Franco
Imperialisme AS memasok Kuomintang dengan pesawat pengebom, pesawat tempur, senapan, tank, peluncur roket, pistol otomatis, bom bensin, proyektil gas, dan senjata-senjata lainnya untuk tujuan tersebut. Sebagai imbalan, Kuomintang memindahtangankan kepada imperialisme AS hak-hak berdaulat Tiongkok atas daerahnya sendiri, perairan, dan tempat udara, mengizinkannya untuk mendapatkan hak-hak pelayaran dalam negeri dan privilese-privilese komersial khusus, serta memperoleh privilese-privilese khusus dalam urusan-urusan domestik dan luar negeri Tiongkok. Pasukan-pasukan AS bersalah atas banyak kekejaman terhadap rakyat Tiongkok: membunuh rakyat, memukuli mereka, melindas mereka dengan mobil, dan memperkosa kaum perempuan, semuanya dengan kekebalan hukum.

Revolusi Agraria
Pada Juli 1946, dengan dukungan aktif imperialisme AS, Kuomintang menjerumuskan Tiongkok ke dalam perang sipil besar-besaran dengan kebrutalan yang tiada taranya dalam sejarah Tiongkok. Chiang Kai-shek meluncurkan sebuah ofensif kontra-revolusioner melawan TPR. Ia telah melaksanakan persiapan seksama, dan pada waktu itu KMT mempunyai pasukan sebanyak hampir tiga setengah kali lipat daripada TPR. Sumber-sumber materialnya pun jauh lebih unggul. Ia mempunyai susukan ke industri-industri modern dan sarana-sarana komunikasi modern, yang justru tidak dimiliki oleh TPR. Secara teoritis, seyogyanya Chiang sanggup meraih kemenangan dengan mudah.
Pada tahun pertama perang sipil (Juli 1946-Juni 1947), Kuomintang berada pada posisi ofensif dan TPR terpaksa berada dalam posisi defensif. Mula-mula pasukan-pasukan Chiang bergerak maju dengan cepat, menduduki banyak kota dan daerah yang dikontrol oleh TPR. Pasukan-pasukan KMT mencapai sesuatu yang nampak sebagai sebuah kemenangan yang memilih tatkala mereka merebut ibukota TPR, Yenan. Banyak pengamat menganggap hal ini sebagai membuktikan kekalahan yang memilih bagi TPR. Tapi anggapan ini tidak tepat. Berhadapan dengan rintangan yang sama sekali tidak menguntungkan, Mao memutuskan untuk melaksanakan penarikan-mundur yang strategis. Mao mengambil keputusan untuk tidak berupaya mempertahankan kota-kota besar dengan pasukan-pasukan yang kurang unggul. Alih-alih ia berkonsentrasi pada daerah-daerah pedesaan, di mana ia mempunyai basis yang solid di kalangan kaum tani; dari sana ia sanggup mengumpulkan-kembali dan mengkonsentrasikan pasukan-pasukannya untuk melancarkan serangan balik.
Apa yang gagal disadari kaum imperialis AS dan Chiang Kai-shek ialah bahwa senjata paling efektif yang ada di tangan TPR bukanlah senapan atau tank, tetapi propaganda. TPR menjanjikan kepada kaum tak bertanah dan kaum tani yang kelaparan bahwa dengan berjuang untuk TPR mereka akan bisa merebut tanah pertanian dari para tuan-tanah. Dalam hampir semua kasus, daerah pedesaan sekitar dan kota-kota kecil telah berada di bawah kontrol TPR jauh sebelum kota-kota besarnya. Inilah asal-muasal teori Mao, “Desa Mengepung Kota”.
Ketika Stalin mengubah garis Komintern dari kebijakan-kebijakan ultra-kiri “Periode Ketiga” (1928-34) menjadi kebijakan-kebijakan oportunis frontisme-popular, Mao merevisi aktivitas agrarianya. Ia meninggalkan kebijakan sebelumnya yang radikal, yakni “tanah bagi penggarap”, dan menggantikannya dengan kebijakan yang lebih moderat, yakni penurunan harga sewa tanah. Ia mempunyai gagasan untuk memenangkan dukungan dari “para tuan-tanah yang progresif” (!). Tapi, setelah 1946 ia mengubah lagi kebijakannya:
“Kebijakan agraria yang selanjutnya ialah lebih radikal daripada kebijakan agraria dalam periode 1937-45, yang  melibatkan penurunan bunga pinjaman dan harga sewa daripada reformasi agraria yang menyeluruh; tetapi taktik-taktik gres ini dimaksudkan bersifat gradual dan diadaptasi dengan kondisi-kondisi setempat. Mao masih bermaksud mengikutsertakan kaum menengah-kaya yang patriotik dalam ‘front-persatuan yang sangat luas’ yang ingin beliau pertahankan. Baru setelah beberapa tahun kaum Komunis mengontrol daerah tersebut, semua tanah didistribusikan ulang; untuk sementara reforma dihentikan mensugesti lebih dari sepersepuluh penduduk. Mao juga mengakibatkan pemberlakuan kembali ‘tiga aturan disiplin’ dan ‘delapan pokok perhatian’; dalam satu atau lain bentuk, ini telah mengekspresikan selama hampir dua puluh tahun penghormatan terhadap penduduk sipil dan pencegahan terhadap penjarahan, yang membedakan Tentara Merah dari semua tentara yang pernah dilihat kaum tani Tiongkok pada masa silam, dan sangat berkontribusi dalam memenangkan dukungan penduduk.” (Stuart Schram, Mao Tse-Tung, p.242.)
Di setiap desa, TPR mendistribusikan tanah kepada kaum tani. Tetapi mereka selalu menyisakan sejumlah kapling – untuk prajurit-prajurit dari tentara Chiang Kai-shek. Para prajurit KMT yang tertangkap tidak dibunuh atau diperlakukan buruk, sebaliknya mereka diberi makan dan diberi perawatan medis, dan kemudian diberi pidato-pidato politik yang mengutuk rezim Chiang Kai-shek yang korup dan reaksioner. Kemudian para tawanan dikirim pulang untuk membuatkan pesan di kalangan kaum tani dan prajurit-prajurit lainnya bahwa TPR bermaksud mendistribusikan tanah para tuan-tanah kepada kaum tani.
Dengan menjanjikan tanah kepada kaum tani, TPR berhasil memobilisir kaum tani dalam jumlah yang sangat besar biar sanggup dipakai untuk bertempur dan menyediakan dukungan logistik. Ini terbukti sangat efektif. Tentara Chiang barangkali mengalami tingkat desersi tertinggi dari tentara manapun dalam sejarah. Artinya, kendati banyak jatuh korban, TPR sanggup untuk terus bertempur dengan pasokan rekrutmen gres yang konstan. Semasa Kampanye Huaihai saja mereka bisa memobilisir 5.430.000 kaum tani untuk bertempur melawan pasukan-pasukan KMT. Stuart Schram memperlihatkan bahwa TPR bertambah besar secara dramatis:
“Semasa 1945 pasukan-pasukan militer yang berada di bawah komando Tentara Rute VIII dan Tentara Baru IV telah meluas dari jumlah sekitar setengah juta menjadi sekitar satu juta orang. Pasukan Kuomintang kira-kira empat kali lebih banyak dari jumlah tersebut. Pada pertengahan 1947, setelah setahun perang sipil berskala besar, perbandingannya bergeser dari satu banding empat menjadi satu banding dua.” (Stuart Schram, Mao Tse-Tung, hlm. 242.)

Ofensif Terakhir
Clausewitz mengutarakan bahwa perang ialah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Politik memainkan tugas yang sangat penting dalam setiap perang, terutama dalam perang sipil. Kendati pihak Amerika (seperti biasanya) mempertahankan fiksi bahwa ini merupakan perang antara  “Komunisme dan Demokrasi”, faktanya boneka Tiongkok mereka, Chiang Kai-shek, ialah seorang diktator yang brutal. Akan tetapi, barangkali di bawah tekanan Washington,  Chiang berpura-pura memperkenalkan sejumlah “reforma demokratis” dalam rangka membungkam para pengkritiknya di dalam dan di luar negeri.
Ia mengumumkan sebuah konstitusi gres dan Majelis Nasional yang baru, yang tentu saja menyisihkan kaum Komunis. Mao segera mengutuk “reforma-reforma” tersebur sebagai sebuah penipuan. Massa-penduduk lebih menaruh perhatian pada korupsi yang merajalela dalam pemerintahan, serta kekacauan politik dan ekonomi: khususnya hiperinflasi yang masif, yang menjadikan jatuhnya standar-standar hidup. Ada protes-protes mahasiswa yang besar di seluruh negeri terhadap imperialisme.
Di daerah-daerah yang dikontrol oleh pasukan-pasukan Nasionalis, rezim Teror Putih berkuasa. Chiang mengadopsi taktik yang persis sama dengan para penyerang Jepang: membakar, menjarah, memperkosa, dan membunuh. Jutaan laki-laki dan wanita, muda dan tua, dibantai. Ini menyampaikan kepada mereka kebencian penduduk dan justru makin memperkuat dukungan bagi TPR.
Secara teori, pihak Nasionalis masih mempunyai satu keunggulan yang besar daripada TPR. Di atas kertas, mereka menikmati keunggulan yang faktual baik dalam jumlah personel maupun senjata. Mereka mengontrol wilayah dan penduduk yang jauh lebih besar daripada seteru mereka. Mereka juga menikmati dukungan internasional yang sangat besar dari AS dan Eropa Barat. Tapi itu hanya teori saja. Realitas di lapangan sangat berbeda. Pasukan-pasukan Nasionalis menderita lantaran tidakadanya semangat juang dan merajalelanya korupsi – yang sangat mengurangi kemampuan mereka untuk bertempur; dan dukungan sipil terhadap mereka telah runtuh.
Pasukan-pasukan Nasionalis yang mengalami demoraliasasi dan tidak berdisiplin meleleh di hadapan derap-laju yang tak terbendung dari Tentara Pembebasan Rakyat. Mereka mengalah atau melarikan diri, meninggalkan begitu saja persenjataan mereka. Penawanan atas sejumlah besar pasukan KMT menyampaikan kepada TPR tank, artileri berat, dan aset-aset persenjataan-gabungan lainnya yang dibutuhkan untuk meneruskan operasi-operasi ofensif di sebelah selatan Tembok Besar. TPR bukan hanya bisa merebut kota-kota Kuomintang yang mempunyai pertahanan yang sangat kuat, tapi juga mengepung dan menghancurkan formasi-formasi pasukan gerak-cepat Kuomintang, seratus ribu atau beberapa ratus ribu pada ketika yang bersamaan. Pada April 1948 mereka merebut kota Luoyang, yang memutus pasokan bagi tentara KMT dari Xi'an.
TPR bisa meneruskan kontra-ofensif, yang memaksa Kuomintang meninggalkan rencananya untuk melaksanakan serangan umum. Setelah merebut senjata dalam jumlah yang sangat besar, TPR bisa memperbaiki kemampuan militernya, membentuk artileri dan kesatuan teknis-nya sendiri, serta menguasai taktik untuk menyerang titik-titik sasaran yang mempunyai pertahanan yang kuat. Sebelum ini, TPR tidak mempunyai pesawat tempur atau tank, tapi segera setelah ia membentuk artileri dan kesatuan teknis yang lebih unggul daripada yang dimiliki tentara Kuomintang, ia sanggup melancarkan bukan hanya pertempuran gerak cepat (mobile warfare) tetapi juga pertempuran posisional (positional warfare). Menurut asumsi Mao sendiri:








 BERSAMBUNG





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Revolusi Tiongkok 1949"

Post a Comment