Contoh Pengembangan Kebijakan Publik

( 19 halaman )





Satu Model Kebijaksanaan Lingkungan

Jauh sebelum ada tindakan pemerintah, dilema lingkungan harus ditemu kenali, sesuatu yang biasanya muncul di masyarakat bawah. Kemudian dilema lingkungan ini dikomunikasikan kepada pemerintah.  Tujuannya yakni untuk mendapat derma pemerintah dengan jalan meyakinkan pejabat atau forum pemerintah yang berwenang supaya supaya dilema tersebut dimasukkan pada agendanya.  Setelah itu, mulailah apa yang dikenal dengan tahap pengambilan keputusan, yakni satu proses yang mencakup penilaian kerusakan lingkungan pada masyarakat, menentukan tujuan, mengevaluasi kemungkinan pemecahannya, dan melakukan beberapa kebijakan.  Setelah kebijakan siap untuk dijalankan, muncullah aktivitas Monitoring dan penilaian untuk meyakinkan apakah kebijakan yang dimaksud telah bisa mencapai tujuan.
Dalam praktek, satu kebijakan yang ditujukan untuk menangani dilema menyerupai kebersihan pantai di Bali, pembuangan/pengolahan sampah di Denpasar memerlukan waktu bertahun-tahun dari menemu kenali dilema hingga adanya tindakan pemerintah.  Oleh lantaran itu para andal kebijakan publik menyebarkan satu model struktur pengembangan kebijakan publik dilema lingkungan yang lebih gampang dimengerti.  Model tersebut pada umumnya memuat:
  • Perumusan masalah
  • Agenda kebijakan
  • Formulasi kebijakan
  • Penetapan kebijakan
  • Pelaksanaan kebijakan
  • Evaluasi kebijakan.
Untuk memudahkan mengingat keenam tindakan di atas ini disingkat dan digabungkan menjadi tiga langkah saja, yakni:
1.      Perumusan dilema dan jadwal kebijakan.
2.      Pengambilan keputusan dan analisis risiko lingkungan, yang mencakup aktivitas perumusan kebijakan, penetapan kebijakan, dan pelaksanaannya.
3.      Evaluasi kebijakan.
Ad.1. Perumusan dilema lingkungan dan jadwal kebijakan.  Identifikasi adanya dilema lingkungan dimulai dengan perumusan masalah, inovasi adanya dilema publik, yakni sesuatu yang memiliki akhir terhadap beberapa kelompok masyarakat, bukan hanya menghipnotis orang perorangan saja.  Kadang-kadang gejala permasalahannya sangat jelas, menyerupai contohnya limbah cair hotel yang dialirkan ke pantai Sanur, atau limbah zat pewarna perusahaan garmen di Kepaon yang dibuang ke sungai yang mengakibatkan orang merasa gatal-gatal jika mereka mandi di pantai/sungai.  Dalam hal lain, masalahnya tidak begitu kentara sehingga memerlukan waktu yang cukup usang untuk menemukan kemungkinan telah terjadi masalah.  Dalam keadaan ini, apabila lingkungan dianggap sebagai penyebabnya, maka masyarakat kemungkinan besar minta derma pemerintah untuk mengidentifikasi sumber permasalahannya dan menemukan cara-cara untuk menanggulanginya.
Pemahaman dilema atau potensi kerusakan yang akan terjadi merupakan langkah awal yang penting.  Selanjutnya yakni masyarakat harus meyakinkan pejabat pemerintah bahwa permasalahannya cukup penting untuk dimasukkan pada jadwal pemerintah daerah/pusat.  Dalam praktek, seseorang sangat sulit meyakinkan pemerintah.  Oleh karenanya, seseorang mungkin melalui kelompok masyarakat pemerhati lingkungan meminta perhatian pemerintah mengenai dilema lingkungan.
Kalau pejabat pemerintah telah menyadari dugaan adanya dilema lingkungan, mereka harus yakin bahwa setiap pertanyaan mengenai kerusakan lingkungan harus sanggup dipertanggung jawabkan. Meskipun demikian, sama sekali tidak ada jaminan bahwa dilema dimaksud akan dimasukkan pada jadwal resmi. Ini disebabkan oleh lantaran pemerintah harus mempertimbangkan di antara banyak dilema yang paling parah atau mendesak untuk mendapat tindakan segera, atau terpaksa menundanya untuk ditangani di masa yang akan datang.  Evaluasi pemerintah akan pentingnya satu dilema publik beserta risikonya relatif terhadap yang lainnya memerlukan tidak hanya penilaian yang sistematik tetapi juga penilaian yang subyektif dan sering terdapat tekanan-tekanan politik.  Jadi proses formulasi kebijakan menuju jadwal kebijakan bukanlah tanpa efek faktor yang tidak jelas, meskipun pemerintah harus satu dikala merumuskan satu kebijakan yang tepat.

Ad.2.  Pengambilan keputusan dan analisis risiko lingkungan.  Dalam tahap formulasi kebijakan ada dua fungsi yang amat penting untuk diselesaikan.  Pertama, pemerintah harus secara resmi menilai parahnya permasalahan lingkungan dan risikonya terhadap masyarakat. Kegiatan ini disebut penilaian risiko.  Kedua, pemerintah harus menyebarkan satu kebijakan yang tepat, yang sebagian dari proses ini disebut administrasi risiko.   Mungkin keputusan yang paling penting dibuat  selama merumuskan kebijakan yakni menentukan apa yang harus diselesaikan melalui peraturan pemerintah.  Tujuan ini akan menentukan sifat dari kebijakan yang harus diambil.
Dalam keadaan yang ekstrem, tujuan dimaksud mungkin memberi hak untuk menyetop faktor penyebab pencemaran.  Misalnya, PCB (polychlorinated biphenyls) dan DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane) ditengarai sebagai faktor pemicu kanker dan oleh karenanya pemakaian kedua jenis materi kimia ini telah dihentikan di seluruh dunia.  Kebijaksanaan yang keras menyerupai ini walaupun mungkin mengganggu aktivitas ekonomi, namun tetap harus dilaksanakan dengan tegas dan pasti.  Dalam hal ini tidak ada lagi kesempatan untuk kompromi dan tujuan menyelamatkan masyarakat dari kemungkinan menderita kanker harus dilaksanakan tanpa kompromi.
Kebanyakan dilema lingkungan hanya memerlukan satu kebijakan yang bervariasi dari keadaan status quo hingga  dengan pelarangan sepenuhnya menyerupai dilema PCB dan DDT.  Misalnya sekitar Maret 2008 kita di Indonesia dihebohkan oleh warta hasil penelitian Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang menyatakan beberapa merek susu formula yang telah beredar terkotori dengan basil Enterobakter Sakazaki yang sanggup mengakibatkan radang pada otak, dan usus serta jaringan seluruh tubuh bayi yang mengonsumsi susu formula yang terkotori tersebut secara terus menerus secara langsung. Argumentasi yang berkembang yakni bahwa susu formula tidak dikonsumsi pribadi oleh bayi, melainkan harus dipanaskan terlebih dahulu dan dimasukkan dalam botol dot dan sebagainya. Di samping itu belum ada ketentuan yang niscaya di Indonesia berapa kandungan basil entero bacter  sakazaki yang diperkenankan (dapat diterima oleh masyarakat).   Dalam keadaan menyerupai ini, pejabat dihadapkan kepada keputusan yang sulit dalam menentukan tingkat pencemaran yang sanggup diterima.  Pertanyaannya yakni apa sebetulnya tingkat pencemaran yang sanggup diterima tersebut dan bagaimana hal semacam itu diperoleh?  Sebagaimana telah dibicarakan pada bab-bab terdahulu, teori ekonomi mikro memberi petunjuk bahwa kriteria untuk mendapat tingkat pencemaran yang ‘dapat diterima’ yakni kesejahteraan masyarakat yang maksimum atau istilah ekonominya yakni efisien alokatif.  Hal ini tercapai jika semua pengeluaran komplemen (MSC) sama dengan semua manfaat komplemen (MSB) pengurangan polusi pada  susu formula tersebut.  Semua pengeluaran komplemen untuk mengurangi pencemaran enterobacter Sakasazi itu, seandainya pemerintah secara tegas mengambil kebijakan untuk menghilangkannya, terdiri dari dua komponen, yakni;
1.      biaya komplemen yang dikeluarkan oleh perusahaan susu formula yang terkait  untuk mengurangi kontaminasi bakteri. Biaya ini disebut biaya marjinal pengurangan polusi dan diberi notasi MACi  (marginal abatement cost) untuk masing-masing perusahaan.  Biaya pengurangan polusi untuk semua perusahaan disebut MACmkt , yakni penjumlahan komplemen biaya pengurangan polusi untuk semua perusahaan (pasar).
2.      biaya komplemen yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengawasi dan memaksakan peraturan supaya ditaati.  Biaya ini diberi notasi MCE (marginal cost of enforcement).  
Namun, dalam praktek, adanya ketidakpastian yang berkaitan dengan pengukuran biaya dan manfaat dari satu kebijakan pengurangan polusi  menyebabkan pejabat pemerintah menghadapi dilema apakah menaksir besaran tersebut atau menggunakan kriteria alternatif lainnya.    
Setelah tujuan lingkungan ditentukan, pejabat pemerintah mulai memikirkan aneka macam instrumen yang bisa mewujudkan tujuan tersebut.  Pilihan kebijakan yang ada bervariasi dari pendekatan ‘Komando&kontrol’ hingga pada pendekatan ‘Pasar’.  Teori ekonomi sanggup dan kadang kala memberi panduan kepada pengambil kebijakan dalam menentukan aneka macam kebijakan dengan menggunakan kriteria ‘efisien alokatif’ atau ‘efektif biaya’.  Namun lantaran kesulitan mengukur manfaat yang diharapkan dari peningkatan kualitas lingkungan, pejabat pemerintah sering kali dipandu oleh kriteria ‘efektif biaya’.
Setelah tahap pemilihan anjuran kebijakan, maka mulailah tahap penetapan kebijakan dalam satu peraturan perundangan.  Penetapan ke dalam perundangan ini selalu merupakan dilema yang sangat kompleks baik di Indonesia maupun di luar negeri.  Prosedur yang umum yakni pemerintah, melalui kementrian terkait, membahas planning perundangan dengan  matang dan kemudian mengajukan anjuran perundangan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas kembali dan disetujui.  Tentu tidak semua anjuran perundangan lolos di DPR, dan bagi yang lolos kesudahannya diundangkan, dan kebanyakan di antaranya mendapat perbaikan sepanjang perjalanan dari awal hingga kesudahannya mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat untuk diundangkan.
Banyak faktor yang menghipnotis proses perundangan tersebut, keadaan ekonomi, implikasinya terhadap perdagangan internasional, politik, dan opini publik.  Di samping kepentingan nasional dan internasional, efek satu perundangan terhadap  ekonomi regional harus juga mendapat pertimbangan.  Akhirnya, dalam hal perundangan mengenai dilema lingkungan, kelompok pemerhati lingkungan sering merupakan elemen yang sangat besar lengan berkuasa dan menentukan proses keberhasilan satu anjuran perundangan.  Para usahawan dan serikat buruh sering juga memegang posisi kunci keberhasilan diundangkannya satu hukum tertentu.
Setelah satu kebijakan lingkungan diratifikasi oleh DPR, ia harus diterapkan, dimonitor dan dipaksakan penerapannya.  Semua aktivitas ini merupakan tahap pelaksanaan kebijakan.   Pelaksanaan ini dikerjakan oleh forum pemerintah yang terkait, menyerupai contohnya tubuh POM (Pemeriksaan Obat dan Makanan) yang merupakan belahan dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, belahan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang berada di bawah Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia, belahan Kesehatan flora yang berada di bawah Kementrian Pertanian Republik Indonesia, dan sudah tentu oleh Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia yang merupakan forum terbesar di Indonesia dalam urusan dilema lingkungan.
 Sistem monitor terhadap pelaksanaan satu hukum harus diciptakan untuk meyakinkan bahwa hukum tersebut ditaati.  Karena hukum lingkungan menjadi makin kompleks, demikian juga halnya dengan mekanisme monitor dan pemaksaan aturan.  Sanksi kejahatan lingkungan kiranya perlu diterapkan sebagai pemaksaan pelaksanaan hukum yang baik.  Monitoring dan pemaksaan hukum oleh pemerintah memiliki implikasi ekonomi yang penting. Perhatikan Peraga 8.1 di bawah ini.
Tingkat pengurangan polusi yang efisien Ae ditentukan oleh perpotongan kurva MSC dan MSB.  MSC  terdiri dari jumlah biaya marjinal pengurangan polusi oleh semua perusahaan terkait (MACmkt) ditambah  biaya marjinal yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memonitor dan memaksakan hukum (MCE), di mana MCE ditunjukkan oleh jarak vertikal antara MACmkt  dan MSC.  Apabila MCE  tidak diperhitungkan dalam menentukan tingkat pengurangan polusi yang diinginkan, maka akan terjadi terlalu banyak sumber daya yang dialokasikan untuk aktivitas terebut.  Peraga 8.1 menawarkan bahwa kesalahan tidak memperhitungkan MCE  akan mengakibatkan pengurangan polusi ditentukan pada tingkat A1, yakni pada titik potong antara MSB dan MACmkt . 

Ad.3. Evaluasi kebijakan. Langkah terakhir dalam proses perencanaan pengembangan kebijakan publik yakni penilaian kebijakan.  Langkah ini dimaksudkan untuk mengevaluasi efektivitas planning dan gagasan untuk mengadakan perubahan yang diperlukan.  Isu penting pada tahap ini yakni untuk menentukan apakah kebijakan sanggup mencapai tujuan, dan untuk menemukenali  kemungkinan adanya akhir negatif terhadap masyarakat. Misalnya pemerintah mengambil kebijakan untuk mengurangi konsumsi premium (BBM bersubsidi) dan menggantinya dengan Pertamax untuk mengurangi setidaknya 15 persen polusi udara materi berbahaya di kota Jakarta.  Evaluasi yang dimaksud yakni untuk menentukan apakah sasaran pengurangan polusi telah dicapai atau tidak, dan apakah terdapat efek pada masyarakat yang tidak diduga sebelumnya, menyerupai contohnya pergantian karyawan atau kerugian lainnya yang diakibatkan oleh penggantian jenis materi bakar.
Satu penilaian ekonomi ex-post memakai Benefit-Cost-Analysis dipandu oleh kriteria yang sama dengan yang dipergunakan pada fase perumusan kebijakan, yakni efisien alokatif dan efektif biaya.  Mendasarkan keputusan pada kriteria yang sudah baku menyerupai ini berarti kita melakukan penilaian kuantitatif dan bersifat lebih obyektif, namun merupakan proses yang sangat sulit.    
Sementara baik kriteria efisien alokatif maupun efektif biaya bermuara pada alokasi sumber, kriteria lain yang disebut ekuiti lingkungan memiliki perspektif yang berbeda.  Kriteria ini mempertimbangkan keadilan beban risiko antar wilayah geografis dan segmen masyarakat.  Pejabat berwenang telah mulai mempertimbangkan kriteria ekuiti lingkungan ini.  Pejabat publik harus berusaha mengurangi ketidakmerataan dan memasukkan kriteria ekuiti lingkungan dalam pengambilan keputusan yang akan datang.

Pihak Terkait dalam Pengambilan Keputusan Lingkungan
Hal menarik pada pengembangan kebijakan lingkungan yakni keikutsertaan banyak orang baik sektor swasta maupun sektor publik.  Setiap peserta, meskipun memiliki sudut pandang berbeda, memegang tugas penting dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan lingkungan.  Seperti model umum satu sistem ekonomi, setiap penerima dalam proses pengembangan kebijakan bekerja dengan motivasinya masing-masing, namun masing-masing menyumbangkan keahlian yang sangat dibutuhkan untuk mencapai hasil akhir.  Artinya, proses ini kurang tepat tanpa mereka. 





 BERSAMBUNG






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Pengembangan Kebijakan Publik"

Post a Comment