Contoh Praktek Rasisme Dalam Kebijakan Imigrasi

( 15 halaman )






PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Migrasi internasional telah menjadi semakin penting dalam agenda internasional dalam beberapa tahun ini disebabkan oleh skalanya yang terus meningkat dan dampaknya terhadap korelasi internasional. Migrasi internasional melibatkan perpindahan orang melewati batas negara, baik sukarela maupun tidak sukarela. Salah satu pola imigrasi yang dilakukan secara tidak sukarela yaitu mengungsi. Banyak pengungsi yang mencari proteksi atau suaka (asylum) di negara lain. Asylum-seeker (pencari suaka) yaitu seseorang yang mengaku dirinya sebagai pengungsi, namun klaimnya belum dievaluasi secara definitif. Artinya, klaim mereka sebagai pengungsi belum diakui oleh negara kawasan mereka mencari perlindungan.
Malaysia yaitu salah satu negara favorit tujuan para pencari suaka. Salah satu faktor penyebabnya yaitu kemakmuran negara ini. United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) mencatat setidaknya terdapat 49.000 pencari suaka dan pengungsi di Malaysia pada Mei 2009, dan memperkirakan jumlah populasi pengungsi dan pencari suaka yang tidak terdaftar mencapai 45.000 orang. Sayangnya, Malaysia justru mengeluarkan kebijakan yang keras diskriminatif. Malaysia, yang tidak pernah menandatangani United Nations Convention Relating to the Status of Refugee 1951, pernah menangkap ratusan pencari suaka pada bulan Juli dan Agustus 2003 serta menutup jalan masuk mereka terhadap biro PBB.
Perlakuan rasis Malaysia terhadap pengungsi terlihat dari pembedaan perlakuan antara pengungsi atau pencari suaka yang Islam dan Melayu, dan terhadap pengungsi Nasrani yang biasanya berkulit kuning. Para pengungsi yang berasal dari Aceh dan Thailand yang beragama Islam biasanya diberikan hak untuk bekerja, hak untuk tinggal sementara, atau bahkan ditempatkan di sentra imigrasi yang nyaman. Keadaan ini sungguh berbeda dengan keadaan penungsi Nasrani Chin dan Rohingnya asal Myanmar yang tidak diberikan hak untuk tinggal, hak untuk bekerja, dan disiksa di pusat-pusat detensi yang menyedihkan. Praktek rasisme dalam kebijakan imigrasi Malaysia, serta akar penyebabnya, menjadi gosip pokok penelitian makalah ini.

1.2  Rumusan Masalah
Makalah ini akan menjawab pertanyaan:
Bagaimanakah praktek rasisme dalam kebijakan imigrasi Malaysia terjadi terhadap pengungsi dan pencari suaka yang tiba ke Malaysia?


1.3  Kerangka Teori dan Konsep
Migrasi internasional yaitu perpindahan orang yang melewati batas negara, baik sukarela maupun tidak sukarela tergantung dari motivasi migran. Migrasi tidak sukarela sanggup terjadi tanggapan konsekuensi tragedi alam, perang, perang sipil, penganiayaan etnis, agama, dan politik, semua situasi yang diciptakan  dimana seseorang dipaksa untuk keluar dari rumah atau negaranya. Sementara, migrasi sukarela sanggup mempunyai tiga bentuk, yaitu penetap permanen, penetap temporer, dan migrasi ilegal. Pengungsi diartikan United Nations Convention Relating to the Status of Refugee 1951 sebagai orang mempunyai ketakutan akan dianiaya untuk alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial atau opini politik tertentu, yang berada di luar negara kebangsaannya dan tidak dapat, atau tidak ingin menyediakan dirinya terhadap proteksi negara tersebut. Dengan demikian, pengungsi yaitu salah satu pola migran tidak sukarela.
Mayoritas dari para pengungsi akan mencari suaka di negara tetangga. United Nations Convention Relating to the Status of Refugee 1951 mewajibkan negara untuk memperluas suaka dan proteksi terhadap mereka yang mengalami penganiayaan, dalam dasar agama, ras, kebangsaan, dan opini politik. Hal ini relevan dengan Universal Declaration of Human Right 1948 Pasal 14 yang menyatakan bahwa seseorang mempunyai hak untuk mencari dan menikmati suaka dari penganiayaan di negara lain. Walau demikian, keputusan apakah seeorang berstatus sebagai pengungsi dan sanggup diperlakukan demikian (dilindungi) berada di tangan setiap negara. Seseorang yang statusnya sebagai pengungsi belum diakui oleh suatu negara disebut pencari suaka (asylum seeker).
Setidaknya terdapat tiga dimensi atau faktor yang menjadi pertimbangan sebuah negara dalam membuka diri terhadap migran, termasuk pengungsi. Dimensi pertama yaitu dimensi ekonomi. Bagi negara host, pekerja impor sanggup berkontribusi untuk kemakmuran jikalau pertumbuhan ekonomi terhambat oleh kurangnya tenaga kerja. Walau demikian, banyak pula argumen ekonomi yang mendukung pembatasan migrasi, menyerupai bahwa impor pekerja akan memperlambat perubahan struktural dalam ekonomi maju dengan memperlambat perubahan menuju bentuk produksi yang lebih capital intensive.
Dimensi kedua yaitu dimensi sosial. Negara-negara mempunyai cara berbeda dalam menghadapi migran, mulai dari mendapatkan keberagaman budaya dengan memberi imigran hak ekonomi, sosial, dan politik, hingga membentuk komunitas etnis yang menentang multikulturalisme dengan menolak hak-hak dan lokasi imigran dalam masyarakat. Migran berpotensi mengancam popularitas dan kekuatan negara-bangsa. Sebagai warga sebuah negara, berpindah untuk tinggal dan bekerja di negara lain, migran menantang inspirasi tradisional mengenai keanggotaan sebuah negara, makna kebangsaan dan kewarganegaraan, serta hak dan kewajiban warga negara terhadap negara dan sebaliknya. Imigran yang sama dengan populasi akseptor akan lebih gampang mengakomodasi dan mentoleransi dibanding jikalau mereka berbeda ras dan budaya.
Dimensi ketiga yaitu dimensi politik. Komunitas imigran terkadang bergabung ke dalam acara politik dengan implikasi terhadap negara asal dan penerima. Aktivitas politik ini terkadang menjadi negara asal dan negara penerima. Keberlanjutan keterlibatan politik di negara yang mereka tidak tinggali lagi, dan mereka menjadi subjek aturan yang mana, memperlihatkan tantangan serius terhadap kedaulatan negara tersebut.
Para migran juga sering menerima perlakuan yang rasis. Rasisme yaitu proses dimana suatu  kelompok sosial mengkategorisasi kelompok lain sebagai kelompok yang berbeda dan lebih rendah, dengan dasar penanda kultural yang terlihat secara fisik (seperti warna kulit). Proses ini melibatkan penggunaan kekuasaan ekonomi, sosial, atau politik, dan secara umum mempunyai tujuan melegitimasi eksploitasi dan eksklusi kelompok yang ditetapkan. Kekuatan kelompok yang secara umum dikuasai sering dipertahankan oleh struktur yang berkembang menyerupai hukum, kebijakan, dan praktek administrasi, yang mengecualikan dan mendiskriminasi kelompok yang dikuasai. Aspek menyerupai ini disebut rasisme institusional atau rasisme struktural. Perilaku rasis dan diskriminatif dari anggota-anggota kelompok secara umum dikuasai dikenal dengan istilah rasisme informal. Sementara, rasialisasi yaitu ihwal publik yang menyiratkan bahwa sejumlah problem sosial atau politik merupakan konsekuensi yang alami dari karakteristik kultural atau fisik kelompok minoritas. Rasialisasi sanggup dipakai untuk mengaplikasikan konstruksi sosial bahwa suatu kelompok tertentu yaitu masalah.
Penjelasan historis mengenai rasisme di Eropa Barat dan masyarakat imigran paska kolonial ada pada tradisi, ideologi, dan praktek kultural, yang telah berkembang dalam konflik etnis yang diasosiasikan dengan nation-building dan perluasan kolonial. Dalam pandangan Stephen Castles dan Mark J. Miller, alasan meningkatnya rasisme belakangan ini ada pada perubahan ekonomi dan sosial yang mempertanyakan pandangan optimistik mengenai kemajuan yang diwujudkan dalam pedoman Barat. Restrukturisasi ekonomi dan meningkatnya pertukaran budaya internasional yang telah dialami oleh banyak penggalan dari populasi, dianggap sebagai bahaya eksklusif terhadap perikehidupan, kondisi sosial, dan identitas.
Isu yang juga penting dalam problem migrasi yaitu dukungan kewarganegaraan bagi para pengungsi atau pencari suaka. Kewarganegaraan memperlihatkan hak kesetaraan kepada seluruh warganegara dalam komunitas politik, serta sekelompok institusi yang berafiliasi untuk menjamin hak-hak ini. Terdapat beberapa tipe kewarganegaraan: 1) model imperial: orang manapun yang berasal dari negara lain yang sama-sama pernah dikuasai kekuatan yang sama yaitu pemilik negara itu juga; 2) model etnis: orang dari negara lain yang mempunyai kesamaan etnis dengan penduduk orisinil satu negara yaitu pemilik negara itu juga. Dengan kata lain, terdapat pengecualian minoritas dari kewarganegaraan dan dari komunitas bangsa; 3) model republikan: definisi negara yaitu komunitas politik, menurut konstitusi, hukum, dan kewarganegaraan, dengan kemungkinan mendapatkan pendatang gres ke dalam komunitas selama mereka mengikuti peraturan politik dan mau menyesuaikan diri dengan kultur nasional (berasimilasi); 4) model multikultural: negara yaitu komunitas politik menurut konstitusi, hukum, dan sanggup mendapatkan pendatang. Di negara ini, para pendatang sanggup mempertahankan kultur mereka, dan membentuk komunitas etnis selama masih patuh terhadap aturan nasional (pendekatan pluralis atau multikultural); dan 5) model transnasional: identitas sosial dan kultural komunitas transnasional melampaui batas negara. Keselamatan demokrasi sanggup bergantung pada cara melibatkan orang-orang dengan identitas ganda dalam komunitas politik, serta menjamin partisipasi warga negara di lokasi gres kekuasaan, apakah itu supranasional atau subnasional, publik atau privat. Imigran yang telah menetap di satu negara dalam jangka waktu tertentu bisa mendapatkan status khusus atau quasi-citizenship, atau denizen (warganegara gila dengan status penduduk legal dan permanen). Kemunculan dua istilah ini juga diakibatkan perkembangan standar hak asasi insan bagi imigran menyerupai yang telah terdapat dalam norma-norma internasional.
Terdapat perbedaan dalam kebijakan imigrasi yang dimiliki negara-negara. Negara imigrasi klasik (seperti Australia dan Amerika Serikat) biasanya mendorong reuni keluarga dan pemukiman permanen, serta memperlakukan imigran legal sebagai warga negara masa depan. Kelompok negara kedua menyerupai Inggris, Prancis, dan Belanda, yaitu negara dimana imigran dari koloni terdahulu seringkali diterima sebagai warganegara, namun imigran dari negara lain biasanya mengalami keadaan yang bertolak belakang. Tipe negara ketiga yaitu negara yang mencoba untuk berpegang teguh pada model “tamu pekerja” yang mencoba mencegah reuni keluarga, dan tidak mau memperlihatkan status penduduk legal dengan banyak aturan naturalisasi. Dengan status tidak tetapnya, para imigran sanggup bertempat tinggal dan membentuk komunitas, namun mereka tidak sanggup merencakan masa depan sebagai penggalan dari masyarakat yang lebih luas. Hasilnya yaitu isolasi, separatisme, dan pengutamaan pada perbedaan.



PEMBAHASAN

Semenjak kemerdekaannya, politik Malaysia memang didasari oleh etnisitas. Perundingan UMNO (United Malays National Organization, partai yang hingga kini mendominasi dewan legislatif Malaysia), MCA (Malaysia Chinese Association) dan Inggris pada sekitar tahun 1955-1956 (delapan atau tujuh tahun sebelum Malaysia merdeka pada tahun 1963) menghasilkan komitmen bahwa kaum bumiputera yang akan menjalankan Malaysia dengan kompensasi etnis Cina dan India di sana akan mendapatkan dingklik perwakilan yang proporsional, menjalankan negara penggalan di mana mereka menerima bunyi mayoritas, dan menerima proteksi ekonomi. Semenjak itu, politik Malaysia didominasi kaum elite masyarakat Melayu. Etnis Melayu juga memegang kontrol terhadap birokrasi, polisi, angkatan bersenjata. Hak-hak istimewa untuk bangsa pribumi dengan sengaja ditetapkan semoga konstitusi melindungi dan memelihara kehormatan penduduk pribumi di hadapan penduduk non-pribumi. Hal ini tak lain dan tak bukan dikarenakan ketakutan dan trauma masyarakat Melayu terhadap kedatangan etnis lain. Karena dikala Inggris pertama kali mendatangkan para imigran dari suku Tamil, India Selatan untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan Malaysia, imigran dari Cina Selatan ikut tertarik tiba dan mendominasi di banyak sekali wilayah Malaysia hingga masyarakat Melayu tradisional mempunyai kesulitan dalam menghadapi perpolitikan yang dikuasai Inggris dan perekonomian yang dikuasai Cina. Dominasi kaum pribumi (Melayu) di Malaysia turut didukung oleh pemerintahnya yang semi-demokratis dan cenderung otoriter.
Namun semenjak tahun 1991, pemerintahan PM Mahathir Muhammad mulai memperkenalkan proyek Bangsa Malaysia dalam Visi 2020. Proyek Bangsa Malaysia sejatinya merupakan penggalan dari Visi 2020 yang dilaksanakan oleh pemerintah Malaysia mempunyai tujuan untuk membentuk “bangsa Malaysia yang bersatu dan terindustrialisasi dalam bentukannya sendiri” sanggup dilihat sebagai perjuangan untuk merekonstruksi nasionalisme Malaysia dengan dasar komponen “sekular-materialis”. Dengan pengenalan inspirasi Bangsa Malaysia, pemerintah Malaysia terlihat berusaha memformulasi dasar tengah melalui konsolidasi nasionalisme dan pluralisme kultural Malaysia, sehingga menggambarkan bangsa sebagai “mosaik budaya-budaya yang berbeda” dan membuat identitas bangsa supraetnis. Pemerintah Malaysia mengharapkan melalui Visi ini, masyarakat Malaysia tidak akan lagi terkotak-kotak dalam etnis masing-masing demi pembangunan ekonomi menuju Malaysia yang terindustrialisasi.

2.1 Sejarah Perkembangan Kebijakan Imigrasi di Malaysia
Sebelum tahun 1930, imigrasi tidak dibatasi di Malaysia. Namun, sehabis penurunan ekonomi global tahun 1930, Malaysia mulai membatasi migrasi tenaga kerja. Setelah kemerdekaannya pada tahun 1957, imigrasi terhenti. Negara Malaysia gres yang mengedepankan globalisasi ekonomi, memulai membuat batasan hanya migran-migran yang mempunyai kemampuan saja yang sanggup masuk ke Malaysia demi kesuksesan seni manajemen pembangunan. Perubahan kembali terjadi pada tahun 1980, dimana jangkauan globalisasi menjadi lebih luas, dan terdapat fase kedua jumlah migrasi pekerja internasional yang besar, membuat Malaysia mengevolusi rejim kontrol batas yang baru. Pergerakan pekerja yang mempunyai kemampuan dan yang tidak menjadi karakteristik utama migrasi pekerja internasional yang baru.
Terdapat empat faktor yang mempengaruhi arah kebijakan pengungsi di Malaysia: 1) Warisan sejarah demografis negara dan latar belakang etnis yang membantu menghasilkan kultur politik dan mengarahkan kebijakan awal pengungsi 









 BERSAMBUNG





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Praktek Rasisme Dalam Kebijakan Imigrasi"

Post a Comment