Contoh Politik

( 28 halaman )



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Di tamat kurun 20, konsep alienasi dan keterasingan telah dipakai oleh banyak filsuf, ilmuwan sosial, teolog, seniman, dan kritikus untuk menggambarkan homogen keberadaan yang telah menjadi hal yang umum di dunia modern. Eksistensi semacam ini seringkali dipandang sebagai kehidupan yang tidak diinginkan. Dalam istilah umumnya, orang yang teralienasi biasanya digambarkan sebagai orang yang entah bagaimana tercerabut dari diri "sejati"-nya, budayanya, alam, orang lain, kehidupan politik, bahkan Tuhan. Kebanyakan sastra modern di Barat telah menjadi periwayatan wacana ketragisan, kekalahan diri, dan seringkali upaya fatal insan untuk merasa betah berada di dunia.
Sementara itu, gagasan lain wacana alienasi yang cukup menarik tiba dari Jacques Lacan. Lacan ialah seorang psikoanalisi dan tidak bergulat eksklusif dengan filsafat. Dalam pandangannya, alienasi ialah poin dasar dari identifikasi manusia.Dalam alienasilah anak memperoleh pengalaman keterpisahan pertamanya, yang menjadi operasi pertandaan yang krusial.
Perbedaan teori politik di Negara berkembang kerap kali menibulkan perbedaan output politik. Politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan internasional. Banyak anggapan bahwa faktor-faktor domestik sama kuatnya menghipnotis out put politik luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua pertimbangan yakni unsur domestik dan elemen eksternal.
Politik ialah kajian ilmu social, yang tidak bisa lepas dari acara kehidupan manusia. Mengapa demikian? Karena insan ialah makhluk social. Sehingga bagaimanapun orang memandang politik, selama insan ada dan berupaya untuk melanjutkan peradabannya, maka selama itu pula politik aka nada bersama berdampingan dengan manusia. Sekalipun ketika ini politik telah mengalami banyak sekali pergeseran, namun rasanya kita tidak harus dan tidak bisa begitu saja dalam menilai baik tidak politik, lantaran intinya poltik tu dikendalikan oleh manusia, maka masuk akal kalu suatu ketika politik mengalami sedikit perubahan makna Karena insan sendiri apda dasarnya selalu berupaya untuk berubah. Hanya tingal kita bisa tidak melihat sisi baik dari politik itu.

B.        Rumusan Masalah
1.    Bagaimana klarifikasi terhadap teori alienasi?
2.    Apa yang dimaksud dengan games theory?
3.    Hakikat politik, arti dan sejarah perkembangannya?
4.    Konsep-konsep perpolitikan?
5.    Pola dan bentuk-bentuk politik?
6.    Politik modernisasi serta integritasnya?
7.    Dan kajian istimewa wacana partai politik?

C.       Tujuan Masalah
1.    Memenuhi standar nilai dalam pelajaran teori politik.
2.    Untuk mengetahui wacana teori alienasi.
3.    Mengetahui perkembangan politik di Negara berkembang.
4.    Untuk mengetahui bagaimana politik bangsa masa kini



BAB II
TEORI POLITIK

A.    TOERI ALIENASI
Menurut Oliver Kelly, alienasi bukanlah alienasi spekular dari tahapan cermin namun alienasi diharapkan untuk pertandaan dan kekerabatan subjek kepada bahasa. Sebagaimana bahasa menjadi yang terpenting, alienasi yang inheren dalam bahasa juga menjadi yang terpenting. Bahasa, berdasarkan Lacan, merupakan alienasi dan kekerana budaya yang tersembunyi. Lacan memakai retorika alienasi, namun kita tidak sanggup menyimpulkan bahwa beliau mencoba menunjukkan seluruh kebudayaan insan sebagai kekerasan dan kejahatan.
Konsep alienasi dan keterasingan itu penting jikalau ingin memahami kehidupan di dunia kontemporer,bahkan untuk memahami keberadaan insan yang ditemukan kapanpun atau dimanapun. Secara lebih langsungnya lagi, dengan memahami konsep ini kita akan terbantu untuk memahami keberadaan dari orang-orang yang, dikarenakan warna kulit, jenis kelamin, budaya, agama, atau status ekonomi, secara paling dramatis dipisahkan dari budaya daerah mereka hidup. Penggambaran bahwa insan modern ialah insan yang teralienasi atau terasingkan ialah kontroversial. Beberapa kontroversi tersebut disebabkan oleh asosiasi konsep ini dengan karya Karl Marx serta para pengikut politik dan intelektualnya. Selain itu, umumnya orang membuat kesalahan serius ketika mencoba mempelajari konsep ini secara serius dikarenakan konotasi Marxisnya. "Alienasi" dan "Keterasingan" telah mempunyai makna yang sangat berbeda ketika konsep tersebut muncul dalam karya para pemikir yang berbeda.
Seluruh konsep alienasi ini di ungkapkan pertama kali dalam dunia barat pada konsep pemujaan berhala dalam konsep perjanjian usang essensi apa yang disebut para nabi sebagai “Syirik”. Bagi Marx, Alienasi dalam proses kerja, dari produk kerja dan lingkungan, tidak bisa dipisahkan dengan alienasi dari diri insan sendiri, dari sesama insan dan alam. Manusia yang teralienasi ini bukan hanya teralienasi dari sesamanya, tetapi juga teralienasi dari keadaan speciesnya, kedua alienasi bersifat alamiah dan spiritual. Alienasi dari esensi insan mengarah pada egotisme eksistensial, yang digambarkan Marx sebagai esensi insan yang menjadi” sebuah alat keberadaan individualnya. Alienasi mengarah pada pemeliharaan semua nilai.
Teori alienasi atau keterasingan, sebagaimana diekspresikan dalam tulisan-tulisan Karl Marx muda (khususnya dalam Manuskrip 1844), merujuk ke pemisahan hal-hal yang secara alamiah milik bersama, atau membangun antagonisme di antara hal-hal yang secara pas sudah berada dalam keselarasan. Dalam penggunaan yang terpenting, konsep itu mengacu ke alienasi sosial seseorang dari aspek-aspek “hakikat kemanusiaannya” (Gattungswesen, biasanya diterjemahkan sebagai species-essence atau 'esensi spesis,' atau species-being). Marx percaya bahwa alienasi merupakan hasil sistematik. .
Teori-teori Marx ini mengandalkan pada Esensi-esensi Kekristenan (1841) karya Feuerbach, yang beropini bahwa gagasan wacana Tuhan telah mengasingkan ciri-ciri makhluk manusia. Stirner akan membawa analisis itu lebih jauh, dengan mendeklarasikan bahwa bahkan “kemanusiaan” itu sendiri merupakan pengasingan dari individu. Marx dan Engels menanggapi pandangan itu dalam Ideologi Jerman(1845).

Empat Jenis Alienasi
Teori Alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksi industrial yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan kehilangan kontrol atas hidup mereka, lantaran tidak lagi mempunyai kontrol atas pekerjaan mereka.
Marx mengatribusikan empat jenis alienasi pada buruh di bawah kapitalisme.
1.         Manusia teralienasi dari alam.
2.         Manusia teralienasi dari dirinya sendiri, dari aktivitasnya sendiri.
3.         Manusia teralienasi dari species-being (dari dirinya sebagai anggota dari human-
            species).
4.         Manusia teralienasi dari insan lain.
Bentuk lanjut dari keterasingan ini ialah keterasingan kaum proletar itu sendiri dari kehidupan mereka yang berinti pada pekerjaan, namun terasing dalam bekerja itu sendiri. Pada dasarnya mereka menyadari apa keterasingan mereka terhadap kehidupan ini, namun dengan delusi yang diciptakan oleh pemilik modal dalam bentuk upah sebagai imbalan dari apa yang telah mereka kerjakan membuat para pekerja ini tidak menyadari keterasingan mereka tersebut. Hal ini membuat keresahan sosial yang berdasarkan Marx membuat pelarian pada agama.
Kembali pada teori alienasi, bukan hanya kaum proletar yang mengalami alienasi, melainkan juga kaum kapitalis yang juga terasing dari kehidupan mereka. Kapitalis tersebut telah sedemikian rupa terasing dari kehidupan mereka selain mencari laba material. Namun, yang terjadi dalam alienasi kaum kapitalis ialah semakin terjaganya kemapanan kondisi mereka dalam strata social mereka.Dari segi ekologis, terjadi keterasingan terhadap lingkungan dalam, baik bagi kaum proletar maupun kaum kapitalis. Hal yang terjadi dalam kaum proletar berkaitan dengan kebebasan yang melalui alienasi-alienasi jawaban kegiatan berkerja mereka telah terenggut. Di sisi lain, bentuk keterasingan dari kaum kapitalis terhadap lingkungan ialah bagaimana mereka memperlakukan lingkungan tersebut hanya sebatas faktor produksi yang sanggup mendukung pencapaian tujuan utama mereka, yaitu meraih laba sebesar-besarnya. Kontra dengan yang terjadi pada kaum proletar, kaum kapitalis yang menganggap diri mereka mempunyai kebebasan sepenuhya untuk mengeksploitasi banyak sekali potensi alam untuk mencapai tujuan utama mereka. Yang terjadi dalam alienasi kaum kapitalis terhadap lingkungan merupakan bentuk pengabaian kondisi lingkungan yang dilakukan secara sengaja berkaitan dengan tujuan mereka, dengan kata lain, kaum kapitalis telah terbutakan oleh tujuan material mereka dalam melihat kondisi lingkungan.
Dalam masalah alienasi terhadap lingkungan yang intinya berimplikasi terhadap kehidupan pada masing-masing kelas.Meskipun Marx tidak pernah secara eksklusif mengungkapkan teori alienasi dalam terhadap lingkungan ini, namun dengan tujuan Marx yang berusaha menggambarkan masyarakat ideal tanpa kelas dan insan sanggup hidup dalam harmoni, revolusi atas alienasi terhadap lingkungan terang juga diiperlukan demi mencapai kehidupan harmoni tersebut.
Alienasi berdasarkan Marx bukan hanya berarti bahwa insan tidak mengalami dirinya sebagai pelaku ketika menguasai dunia, tetapi juga berarti bahwa dunia ( alam, benda dan insan sendiri) tetap absurd bagi manusia. Dunia berdiri diatas dan menentang insan sebagai objek, meskipun dunia bisa menjadi objek ciptaan manusia. Alienasi intinya melanda dunia dan insan secara pasif dan reseptif sebagai subyek yang terpisah dengan objek.
Bagi Marx, proses alienasi diungkapkan dalam kerja dan pembagian buruh. Kerja baginya ialah keterhubungan aktif insan dengan alam, penciptaan sebuah dunia baru, termasuk penciptaan dirinya sendiri. Marx melanjutkan lebih jauh. Dalam kerja yang tidak teralienasi insan bukan hanya mewujudkan dirinya sebagai seorang individu, tetapi juga sebagai sebuah makhluk species. Bagi marx, juga bagi Hegel dan banyak pemikir kurun pencerahan lain, setiap individu mempresentasikan species, yakni kemanusiaan sebagai keseluruhan universalitas insan : perkembangan insan terhamparnya seluruh kemanusiaannya. Dalam proses kerja, insan “ tidak lagi memproduksi dirinya hanya secara intelektual, sebagaimana dalam kesadaran, tetapi secara aktif dan penuh rasa, dan melihat bayangnya sendiri disebuah dunia yang telah dibentuknya. Oleh lantaran itu ketika buruh yang teralienasi oleh produksinya dari manusia, beliau juga menjauhkan kehidupan speciesnya, objektifitas nyatanya sebagai sebuah makhluk species, menghilangkan kelebihannya dibanding binatang, begitu jauh sehingga badan anorganis dan wataknya lenyap. Hanya ketika buruh teralienasi mentransformasikan aktifitasnya secara bebas dan mempunyai tujuan sendiri menjadi sebuah alat, beliau mentransformasikan sebuah species manusia, menjadi alat keberadaan fisik. Kesadaran, yang mempunyai insan dari speciesnya, ditransformasikan melalui alienasi sehingga kehidupan species menjadi sebuah alat untuknya.” Marx berasumsi bahwa alienasi kerja yang mengalir sepanjang sejarah mencapai puncaknya dalam masyarakat kapitalis, dan bahwa kelas pekerja menjadi kelompok yang paling teralienasi. Asumsi ini didasarkan pada inspirasi bahwa pekerja, yang tidak mempunyai tugas untuk memilih arah kerjanya, yang dipekerjakan sebagai belahan dari mesin yang dilayani, ditransformasikan menjadi barang yang bergantung pada modal. Alienasi kerja dalam produksi insan jauh lebih besar daripada alienasi yang terjadi ketika produksi dikerjakan.
Kemudian yang ditulis Marx dalam Capital: “ Di dalam sistem kapitalis, semua metode untuk membangkitkan produktivitas sosial buruh dihasilkan oleh buruh individual;semua alat untuk membuatkan produksi mengubah dirinya menjadi sebuah alat untuk menguasai dan untuk mengeksploitasi pembuatnya. Alat-alat tersebut merusak buruh sehingga menjadi sekedar belahan dari manusia, mendegardasikan insan hingga menjadi belahan dari mesin, menghancurkan setiap sisa daya tarik dalam kerjanya dalam mengubah buruh menjadi pekerja yang dibenci. Alat-alat tersebut memisahkan potensialitas intelektualnya daridiri buruh sebagaimana sains yang dimilkinya sebagai sebuah kekuasaan yang independen.”Bagi Marx Alienasi dalam proses kerja, dari produk kerja dan lingkungan, tidak bisa dipisahkan dengan alienasi dari diri insan sendiri, dari sesama insan dan alam. Manusia yang teralienasi ini bukan hanya teralienasi dari dari sesamanya, tetapi juga teralienasi dari ke-ada-an speciesnya, kedua alienasi bersifat alamiah dan spiritual. Alienasi dari esensi insan mengarah pada egotisme eksistensial, yang digambarkan Marx sebagai esensi insan yang menjadi” sebuah alat keberadaan individualnya. Buruh yang teralienasi itu terasing dari tubuhnya sendiri, alam eksternal, kehidupan mental dikehidupan manusia.”Alienasi mengarah pada pemeliharaan semua nilai. Dengan membuat ekonomi dan nilai-nilainya-“keuntungan kerja, ekonomis dan ketenangan hati”-sebagai tujuan hiudp yang tertinggi, insan telah gagal membuatkan nilai-nilai yang tertinggi,manusia gagal membuatkan nilai-nilai moral yang benar,”kaya dengan hati nurani, kebenaran dan lain sebagainya. Bagaimana saya sanggup menjadi benar jikalau saya tidak hidup, dan bagaimana saya sanggup mempunyai hati nurani jikalau saya tidak menyadari segala sesuatu?”. Dalam keadaan teralienasi, setiap bidang kehidupan, ekonomi dan moral, menjadi independen dari bidang kehidupan lainnya” setiap bidang kehidupan terkonsentrasi pada sebuah bidang kegiatan khusus yang teralienasi dan dengan sendirinya teralienasi dengan bidang kegiatan lainnya.

B.       POLITIK LUAR NEGERI DI NEGARA BERKEMBANG
Jika faktor-faktor domestik itu memilih kebijakan luar negeri maka kondisi negara-negara itupun ditinjau dari segi perkembangan ekonomi menawarkan nuansa terhadap perilakunya di dunia internasional. Klasifikasi sederhana terhadap sebuah negara dalam konteks ekonomi ialah negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Artikel ini akan mengulas pendekatan terhadap studi politik luar negeri negara- negara berkembang. Namun sebelum hingga pada kajian terhadap kebijakan eksternal negara berkembang dilakukan terlebih dahulu survai singkat terhadap kerangka teoritis studi politik luar negeri.
Sebuah daftar kerangka teoritis yang dicatat Lyod Jensen (1982) memaparkan lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri1. Pertama, model strategis atau rasional. Pendekatan ini sering dipakai oleh sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi politik luar negeri banyak sekali negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam merespon negara lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang sebagai bintang film terpencil yang memaksimalkan tujuannya dalam politik global. Pendekatan ini mempunyai kelemahan ialah perkiraan kalkulasi rasional yang dilakukan para pengambil kebijakan dalam situasi ideal yang jarang terjadi. Dengan kata lain apa yang disebut rasional oleh peneliti sering dianggap rasional oleh yang lainnya. Bahkan ada kelemahan lainnya bahwa model menyerupai ini menyandarkan pada intuisi dan observasi.
Model kedua ialah pengambilan keputusan. Penulis populer kerangka analisa ini ialah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia menggambarkan modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam "kotak hitam" pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu laba pendekatan ini yakni membawa dimensi insan kedalam proses politik luar negeri secara lebih efektif.
Jensen juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan ini menekankan pada tugas yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses politik luar negeri. Menurut Jensen, lantaran peralihan yang signifikan dalam pemerintahan dan partai- partai politik di banyak negara, maka politik luar negeri tergantung kepada pelayanan pegawai negeri yang lebih permanen untuk informasi dan nasihat. Oleh alasannya ialah itu birokrat - termasuk di jajaran Departemen Luar Negeri - bisa menghipnotis pembentukan politik luar negeri. Namun demikian tugas birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan lantaran keterbatasan pengaruhnya juga.
Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa sikap politik luar negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon kendala dan peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala pilihan.
Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait dengan isu- info politik luar negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional komprehensif.
Sementara itu studi politik luar negeri negara-negara sedang berkembang disebut- sebut "kurang berkembang" atau "tidak berkembang". Namun demikian studi terhadap Negara berkembang, untuk membedakan dari negara maju seperi Amerika Serikat atau Inggris, tetap menarik untuk disimak. 

Politik luar Negeri Negara Berkembang
Sejauh ini menyerupai dikatakan Ali E Hilla Dessouki dan Bghat Korany2, ada tiga pendekatan yang mendominasi studi politik luar negeri di negara-negara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin.
Pertama, pendekatan psikologis. Pendekatan ini menilai politik luar negeri sebagai fungsi impuls dan idiosinkratik seorang pemimpin. Menurut pandangan ini, raja-raja dan presiden merupakan sumber politik luar negeri. Oleh lantaran itu perang dan hening merupakan selera pribadi dan pilihan individual.
Dalam hal ini politik luar negeri dipersepsikan bukan sebagai acara yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan nasional atau sosietal melainkan menyerupai ditulis Edward Shill tahun 1962 sebagai "bagian dari korelasi masyarakat". Tujuannya, memperbaiki gambaran negara, meningkatkan popularitas pemimpin dan mengalihkan perhatian dari kesulitan-kesulitan domestik kepada ilusi-ilusi kemenangan eksternal.
Terhadap pendekatan ini sedikitnya terdapat tiga kritik. Pertama, pendekatan ini membuat politik luar negeri tampak menyerupai sebuah kegiatan irasional, bukan masalah analisis sistematik. Kritik kedua, pendekatan ini mengabaikan konteks (domestik, regional dan global) dimana politik luar negeri diformulasikan dan dilaksanakan. Ketiga, pendekatan menyerupai ini mengabaikan fakta bahwa lantaran kepentingan mereka dalam survival politik, sebagian besar pemimpin menepiskan sifat eksentriknya yang berlawanan dengan sikap dominan, perasaan publik dan realitas politik.
Memang sulit mengesampingkan variabel idiosinkratik di kebanyakan negara berkembang namun yang lebih penting dianalisa bagaimana konteks pembuatan kebijakan mendorong tipe-tipe kepemimpinan tertentu dan bukan tipe yang lainnya. Atau bagaimana faktor idiosinkratik pemimpin mungkin mengubah konteks, menghipnotis orientasi politik luar negeri pemimpin lainnya.
Kedua, pendekatan negara-negara besar yang lebih banyak didominasi di kalangan pakar-pakar realis menyerupai Hans J Morgenthau. Pendekatan ini memandang politik luar negeri sebagai fungsi konflik Timur-Barat. Singkatnya, politik luar negeri negara-negara berkembang dipandang lemah otonominya. Negara berkembang dipengaruhi rangsangan ekstern mereka bereaksi terhadap prakarsa dan situasi yang diciptakan kekuatan eksternal. Kelemahan utama pendekatan ini mengabaikan sumber-sumber dalam negeri dalam politik luar negeri.
Ketiga, pendekatan reduksionis ataumode l-builders. Pendapatnya, politik luar negeri negara berkembang ditentukan oleh proses yang sama dan perhitungan keputusan yang membentuk politik luar negeri negara-negara maju. Perbedaan dasarnya ialah kuantifikasinya. Negara berkembang mempunyai sumber-sumber dan kemampuan yang kecil. Oleh alasannya ialah itu, melakukan politik luar negeri dalam skala yang lebih kecil. Pandangan ini berdasarkan perkiraan bahwa sikap semua negara (besar dan kecil, kaya atau miskin, berkembang atau maju) mengikuti model pengambilan keputusan bintang film rasional.
Dikatakan pula, semua negara berusaha meningkatkan kekuasaan dan semua negara juga dimotivasi oleh faktor-faktor keamanan. Oleh lantaran itulah, politik luar negeri negara- negara berkembang persis sama menyerupai negara maju namun dalam level lebih rendah. Pendekatan ini tidak memperhitungkan abjad khusus menyerupai modernisasi, pelembagaan politik yang rendah dan status ketergantungan dalam stratifikasi sistem global.
Salah satu ciri-ciri kajian baru, berbeda dengan tiga pendekatan tadi, menekankan kepada sumber-sumber politik luar negeri dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial menghipnotis sikap eksternal negara-negara berkembang.
Misalnya karya Weinstein wacana politik luar negeri Indonesia yang menghasilkan pandangan adanya tiga tujuan politik luar negeri3. Pertama, mempertahankan kemerdekaan bangsa melawan bahaya yang dipersepsikan. Kedua, mobilisasi sumber-sumber eksternal untuk pembangunan dalam negeri. Dan ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitan dengan politik dalam negeri menyerupai mengisolasi salah satu oposisi politik dari dukungan luar negeri, memanfaatka legitimasi untuk tuntutan-tuntutan politik domestik dan membuat simbol-simbol nasionalisme dan persatuan nasional.
Contoh lain kajian gres politik luar negeri negara berkembang menekankan sumber- sumber domestik dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial menghipnotis sikap eksterrnal. East dan Hagen menggaris bawahi faktor sumber-sumber untuk membedakan dengan ukuran-ukuran faktor itu berupa jumlah adikara sumber-sumber yang tersedia dengan faktor modernisasi yang artinya kemampuna memobilisasi, mengontrol dan memakai sumber-sumber ini. Modernisasi itu sendiri dipandang sebagai proses dimana negara-negara meningkatkan kemampuannya untuk mengontrol dan memakai sumber- sumbernya. Ini berarti, negara yang modern punya kemampuan yang lebih besar dalam bertindak.
Unsur penting lainnya kajian politik luar negeri negara berkembang menekankan pada posisi ekonomi politik bintang film dalam startifikasi sistem global. Johan Galtung menyerupai dikutip Marshall R Singer melukiskan dengan terang wacana stratifikasi dalam sistem internasional ini4. Galtung memaparkan bahwa sistem politik internasional menyerupai dengan sistem feodal yang terdiri dari negara besar alias "top dog", negara menengah dan regional serta negara berkembang atau negara "underdog" yang lebih kecil.
Dalam konteks ini, ketidaksederajatan menjadi fokus utama. Negara berkembang eksis dalam tatanan dunia ini dicirikan dengan ketidaksederajatan antara negara dalam level pembangunan sosial ekonomi, kemampuan militer dan stabilitas politik dan prestise. Akibatnya, penetrasi luar terada proses pengambilan keputusan negara-negara berkembang. Aktor eksternal berpartisipasi secara otoritatif dalam alokasi sumber-sumber dan determinasi sasaran-sasaran nasional. Dalam hal ini banyak karya ilmiah sudah ditulis wacana peranan Dana Moneter Internasional (IMF), perusahaan multinasional dan pinjaman luar negeri negara-negara besar.
Dari banyak sekali pendekatan yang ada, tulis Hillal dan Korany, analisis yang memadai terhadap politik luar negeri negara-negara berkembang semestinya mempertimbangkan bahwa politik luar negeri ialah belahan dan paket situasi umum Dunia Ketiga dan merefleksikan evolusi situasi ini. Dengan demikian, proses politik luar negeri tak sanggup dipisahkan dari struktur sosial domestik atau proses politik domestik.
Menurut Hillal dan Korany, untuk memahami politik luar negeri negara Dunia Ketiga perlu membuka "kotak hitam". Dunia Ketiga ini banyak dipengaruhi stratifikasi internasional. Meskipun negara berdaulat namun negara-negara Dunia Ketiga, sanggup dirembesi, dipenetrasi dan bahkan didominasi. Oleh alasannya ialah itu penting pula melihat struktur global yang menghipnotis proses pembuatan kebijakan luar negeri.
Sedikitnya ada tiga duduk kasus besar yang dihadapi negara berkembang dalam melakukan politik luar negerinya. Pertama, dilema pinjaman dan independensi.



 BERSAMBUNG





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Politik"

Post a Comment