Contoh Manajemen Publik

( 14 halaman )




DEMOKRATISASI POLITIK

DAN REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK


Sewindu Gerakan Reformasi

Gerakan reformasi di Indonesia, yang dimotori oleh para mahasiswa, pada lima tahun pertama (1998-2003) ditandai oleh adanya paradoks antara adanya tuntutan akan kehidupan yang lebih demokratis di satu sisi dan munculnya anarkisme sosial di sisi yang lain. Tuntutan terhadap demokrasi, muncul sebagai akhir lahirnya kesadaran perihal banyaknya hak-hak warga negara yang selama bertahun-tahun diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak oleh rezim yang berkuasa. Kerinduan akan demokrasi juga lahir dari adanya penolakan terhadap relasi-relasi kekuasaan yang besar kepala dan represif, perihal relasi-relasi ekonomi yang timpang dan jauh dari rasa adil, serta perihal relasi-relasi sosial dangkal dan penuh ritual kolektif namun sangat merendahkan martabat insan sebagai pribadi. Sedangkan anarkisme sosial terjadi sebagai akhir hancurnya kepastian normatif dan kepantasan berperilaku di dalam masyarakat, berbarengan dengan runtuhnya rezim mayoritas yang berkuasa. Institusi-institusi sosial yang ada dipertanyakan kembali eksistensi dan relevansinya, sementara institusi-institusi gres belum muncul untuk mewadahi kearifan-kearifan dan nilai-nilai gres yang lahir bersama dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam sosiologi situasi menyerupai ini disebut sebagai situasi anomie. Pertanyaan kritis yang mengganggu selama itu adalah, apakah gerakan reformasi akan berakhir dengan mengkristalnya demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa atau berakhir dengan anarkisme berkepanjangan dan berakhir dengan kegagalan?

Pada tahap kedua (2003 – sekarang), euforia reformasi di jalan raya tampak mulai mereda. Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung, diakui banyak pihak termasuk donor internasional, sebagai sebuah keberhasilan politik bawah umur negeri ini dan menjadi indikasi bahwa reformasi berada di jalur yang dikehendaki. Yang menarik untuk dicermati adalah, bahwa sehabis pemilihan presiden dilakukan secara pribadi dengan prosedur yang relatif demokratis, dinamika politik berpindah dari jalan raya, ke dalam ruang-ruang sidang komisi dan paripurna di dalam gedung Senayan dan Istana Merdeka. Kata reformasi, tidak lagi merupakan intimidasi, bahkan mereka yang dulu merupakan belahan dari kekuatan yang pendukung status quo sanggup mengidentifikasi diri sebagai tokoh reformasi tanpa perlu di lakukan ”penelitian khusus”. Di satu sisi, secara positif hal ini sanggup dilihat sebagai sebuah konsolidasi yang sanggup memberi tenaga pada setiap upaya pembaharuan menuju kristalisasi demokrasi. Di sisi lain, secara negatif hal tersebut sanggup dilihat sebagai sebuah kompromi yang sanggup mengakibatkan reformasi sebagai gerakan setengah hati yang tidak punya daya dobrak yang dibutuhkan untuk melaksanakan perubahan.

Terlepas dari apa yang gres dikemukakan, dikala ini setiap orang sanggup menjadi saksi perihal apa yang sedang terjadi di negeri ini. Dalam bidang hukum, UUD 1945 sudah mengalami revisi, puluhan undang-undang berhasil diberlakukan dari yang mengatur soal otonomi hingga masalah pornografi dan pornoaksi. Bidang ekonomi, khususnya sektor riil, bergerak amat perlahan kalau tidak ingin bicara soal kebangkrutan alasannya ialah rendahnya daya beli masyarakat dan semakin berlipatnya jumlah pengangguran. Konsep NKRI dihadapkan pada banyak sekali tantangan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. Lepasnya provinsi ke-27 Timor Timur melalui referendum, begitu pula Gerakan Aceh Merdeka yang sanggup memaksa Jakarta untuk duduk bersama di Helsinki, serta masalah Papua yang tidak mendapatkan konsep otonomi ala Jakarta. Terakhir negeri ini dihadapkan pada banyak bencana, dari mulai Alor, Nabire, Aceh, Nias, Jogya dan terakhir di pantai selatan Jawa, khususnya Pangandaran. Semua itu seolah mau mengatakan, bahwa keberhasilan mewujudkan proses demokrasi dalam menentukan presiden barulah permulaan. Proses demokratisasi tidak hidup untuk dirinya sendiri, namun masih harus diuji melalui kemampuannya untuk menjamin dan memberi tunjangan terhadap hak-hak konstitusional setiap warga negara. Pertanyaannya, langkah-langkah apa yang harus dilakukan biar proses demokratisasi yang selama ini dilakukan bermuara pada apa yang dicita-citakan?

Belajar dari Pengalaman Bangsa Lain

            Pengalaman bangsa-bangsa lain menunjukkan, bahwa suatu bangsa sanggup saja mulai dengan mencanangkan proses demokratisasi sehabis tumbangnya rejim otoriter, tetapi tidak semua yang hingga kepada demokrasi yang dicita-citakan. Tidak ada jaminan bahwa rejim gres yang berkuasa sanggup bertahan, stabil, dan bisa mengantarkan bangsanya mencapai masyarakat demokratis menyerupai yang dicita-citakan. Tumbangnya pemerintah Nigeria pada tahun 1983 dan pemerintah Sudan pada tahun 1989, misalnya, merupakan teladan dan pelajaran berharga, khususnya bagi bangsa-bangsa di negara yang sedang berkembang menyerupai Indonesia, perihal bagaimana sulitnya menegakkan demokrasi sehabis turunnya sebuah rezim otoriter. Di Angola, sebagai bandingan lain, fase transisi menuju demokrasi berakhir dengan pecahnya perang saudara dan berlanjutnya rezim yang sewenang-wenang yang berkuasa. Dengan kata lain, demokratisasi ialah proses bertingkat-tingkat di mana terdapat kemungkinan bagi setiap bangsa untuk gagal di setiap titik sepanjang garis kontinum dari otoritarianisme hingga ke tahap terkristalnya demokrasi yang gres (Casper dan Taylor, 1996).

            Pengalaman Indonesia sendiri, baik di bawah pemerintahan Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurachman Wahid maupun Megawati, dan kini Soesilo Bambang Yudoyono, mengukuhkan pernyataan Casper dan Taylor, betapa sulit dan berlikunya jalan menuju sebuah sistem politik yang tidak hanya demokratis. Namun betapapun kecilnya peluang keberhasilan itu, selalu ada jalan untuk memperjuangkannya. Jika demikian halnya, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa ada negara yang berhasil mencangkokkan demokrasi sehabis runtuhnya rezim otoriter, namun ada pula negara lainnya yang gagal? Faktor-faktor apa yang menentukan proses demokratisasi di suatu negara berhasil hingga ke tahap mengkristalnya demokrasi baru, sementara yang lain berjalan tersendat, mandeg di tengah jalan atau bahkan berantakan? Setelah membandingkan dan mengkaji beberapa kasus, Casper dan Taylor berpendapat, bahwa tahap pencangkokan demokrasi, gres merupakan separuh dari proses demokratisasi. Orang tidak sanggup berasumsi, bahwa demokrasi akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Menurut mereka ada dua  langkah penting yang harus dilakukan biar suatu bangsa sanggup hingga pada kehidupan demokratis yang dicita-citakan. Pertama, langkah jangka pendek yang berkaitan dengan pencarian jalan keluar bagi kekuatan-kekuatan yang masih mendukung rezim lama. Kedua, ialah langkah jangka panjang yang difokuskan pada proses konsolidasi demokrasi yang baru. Pertanyaan strategis yang ingin ditelusuri dan dikaji dalam belahan ini adalah, apakah manajemen publik sanggup berperan sebagai katalisator proses demokratisasi, ataukan manajemen publik merupakan belahan dari masalah yang juga harus direformasi?

Reformasi Administrasi Publik

            Administrasi publik, menyerupai yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1967), ialah sebuah disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Woodrow Wilson (1887) yang dianggap sebagai orang yang membidani lahirnya ilmu manajemen publik modern di Amerika Serikat. Ia mengemukakan bahwa disiplin manajemen publik merupakan produk perkembangan ilmu politik, namun Wilson mengusulkan adanya pemisahan disiplin manajemen dari ilmu politik. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi. Ilmu manajemen publik, berdasarkan Wilson, berkaitan dengan dua hal utama, yaitu:
1.      What government can properly and successfully do?
2.      How it can do these proper things with the utmost possible efficiency and at the least possible cost either of money or of energy?

            Bertolak dari gagasan dasar tersebut, sanggup diyakini bahwa manajemen publik sanggup berperan positif dalam mengawal proses demokratisasi hingga pada tujuan yang dicita-citakan, alasannya ialah intinya manajemen publik berurusan dengan masalah bagaimana menentukan to do the right things dan to do the things right. Dengan kata yang berbeda, manajemen publik bukan saja berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melaksanakan proses demokratisasi, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga negara.

            Persoalannya kini adalah, mungkinkah para administror publik sanggup menjadi tulang punggung bagi proses demokratisasi? Jawaban empirik terhadap pertanyaan tersebut mempunyai dua versi. Dalam satu situasi, tugas para direktur publik dalam menuntaskan banyak sekali masalah yang berkaitan dengan demokratisasi cukup signifikan. Di Taiwan, misalnya, menyerupai juga di beberapa negara sedang berkembang lain, pemerintah berurusan dengan masalah dilematis bagaimana merekonsiliasi kontradiksi antara budaya tradisional, kultur demokrasi gres dan industrialisasi sebagai perjuangan negara membangun ekonomi. Untuk menghadapi masalah tersebut, para mahir manajemen publik membantu para pengambil keputusan di Taiwan untuk menuntaskan reformasi administratif yang kompleks dengan memakai pendekatan perencanaan strategis (Sun dan Gargan, 1996).

            Mengenai tugas manajemen publik tersebut, O’Toole (1997) menciptakan kesimpulan bahwa manajemen publik yang berkembang dikala ini sangat mendukung proses demokratisasi, alasannya ialah sudah tidak terlalu hirarkis dan parokial, tetapi lebih menyerupai sebuah jaringan (network). Kecenderungan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi, termasuk tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap ekspansi liberalisasi politik, kewargaan, dan tingkat kepercayaan publik. Administrasi publik yang berbentuk jaringan sanggup mengatasi kendala menuju pengelolaan yang demokratik, dan sanggup membuka kemungkinan untuk memperkuat pemerintahan yang bergantung kepada nilai-nilai dan tindakan-tindakan manajemen publik. Hal tersebut dikemukakan O’Toole dalam rangka mengenang Dwight Waldo yang juga pernah mengemukakan, bahwa kalau manajemen ialah inti dari pemerintahan, maka teori demokrasi harus pula meliputi administrasi.

            Dalam situasi lain, direktur publik tidak sanggup diharapkan menjadi katalisator proses demokratisasi. Di negara-negara Afrika sub-sahara, menyerupai juga di tempat lain, ketika rezim militer menguasai pemerintahan, mereka memerintah dengan komando; melarang partai-partai politik, membekukan konstitusi, dan melumpuhkan lembaga-lembaga legislatif. Sebagai akibatnya, tidak ada akses institusi politik bagi warganegara pada proses pengambilan keputusan. Penguasa militer biasanya memperoleh input bagi proses perumusan dan pengambilan keputusan dengan cara mengangkat elit politik sipil. Hal tersebut dilakukan sebagai respons terhadap tuntutan transisi kepada pihak sipil dan sebagai teknik politik untuk melaksanakan proses sipilisasi rezim militer. Pengalaman empirik menunjukkan, bahwa keterlibatan sipil dalam rejim militer merupakan prediktor bahwa rezim tersebut akan mengikuti aturan-aturan militer dan bukan sebaliknya. Dalam konteks inilah manajemen publik tidak aman bagi proses kristalisasi demokrasi, tetapi malah sebaliknya, sanggup menjadi katalisator bagi pelanggengan pemerintahan usang yang otoriter. Dalam banyak hal, reformasi politik yang bergulir hingga dikala ini, sekali lagi tampak berada dalam jalur yang benar. Yang dibutuhkan ialah kesabaran untuk bertahan dan konsistensi untuk melaksanakan langkah-langkah sistematik yang diperlukan. Proses demokratisasi di Indonesia tidak hanya diuji melalui pemilihan presiden secara langsung, namun terutama ditantang untuk bisa keluar dari banyak sekali masalah biar sanggup memenangkan pertarungan dengan bangsa-bangsa lain.

            Dari apa yang telah dikemukakan di atas, manajemen publik sanggup menempati tempat di jantung gerakan demokratisasi politik, asal memenuhi paling tidak tiga persyaratan. Pertama, bisa melaksanakan perencanaan strategis yang menyeluruh menyerupai yang dilakukan di Taiwan menyerupai yang dikemukakan Sun dan Gargan. Kedua, mempunyai struktur organisasi yang tidak terlalu hirarkis dan parokial menyerupai yang dikemukakan O’Toole. Ketiga, membebaskan diri dari pendekatan dan kultur militeristik dalam melaksanakan pelayanan publik. Mengenai perencanaan strategis, Indonesia mempunyai pengalaman dan institusi perencanaan menyerupai Bappenas di tingkat pusat, dan Bappeda di tingkat daerah. Yang diharapkan ialah revitalisasi dan reposisi fungsi-fungsi institusional yang diubahsuaikan dengan konteks demokrasi yang dikehendaki. Mekanisme perencanaan bottom-up sanggup terus dijalankan bukan sekedar basa-basi atau mencari legitimasi. Untuk dua syarat yang terakhir, struktur dan kultur birokrasi, masih membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk melaksanakan perubahan secara inkremental untuk mengurangi (jika tidak sanggup menghindari) biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi. Dalam kaitan dengan ini, pembicaraan mengenai gosip reformasi manajemen publik tetap mempunyai relevansi. Pertanyaan berikutnya ialah reformasi ke arah mana?

            Uraian di atas paling tidak merupakan sebuah arahan ke arah mana reformasi manajemen publik harus menuju. Salah satu gerakan reformasi manajemen publik yang juga sempat terkenal di awal 90-an muncul dalam kemasan ‘reinventing government’ yang berakar pada  tradisi dan perspektif New Public Management yang merupakan kristalisasi dari praktek manajemen publik di Amerika Serikat. Para pendukung gerakan ini berpendapat, bahwa institusi-institusi administratif yang didirikan dalam kerangka birokrasi dengan model komando dan pengawasan telah berubah secara signifikan selama masa ke 20, dan harus terus diubah. Birokrasi jenis ini tidak lagi efektif, efisien dan sudah ketinggalan zaman dalam tatanan ekonomi-politik dunia yang semakin mengglobal. Oleh alasannya ialah itu birokrasi di Amerika Serikat harus  melakukan reformasi institusi manajemen publik biar lebih mempunyai huruf kewirausahaan. Apakah reformasi manajemen publik menyerupai ini layak menjadi model bagi reformasi manajemen publik di tanah air? 


BERSAMBUNG






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Manajemen Publik"

Post a Comment