Contoh Kultur Organisasi

( 24 halaman )




Kultur Organisasi Google
Dua pendiri Google Larry Pagedan Sergey Brim mengembangkan gagasan untuk perusahaan mereka di kamar asrama mereka di Standford University. Saat ini, Google merupakan mesin pencari terbesar di dunia. Penggunanya, yang berjumlah 82 juta orang perbulan, mempunyai kanal ke lebih dari 8 juta halaman Web. Lebih dari 50 persen kemudian lintas Google terjadi di luar Amerika Serikat. (Sekedar catatan, googol ialah istilah matematis untuk angka 1 yang diikuti 100 angka nol.)
            Meskipun tumbuh pesat, Google masih mempertahankan cara kerja ibarat perusahaan kecil. Di kantor Googleplex di Mountain View, California,“Googlers (julukan karyawan Google penerj). Makan di café google yang lebih dikenal dengan sebutan “Charlie’s Place”. Topik pembicaraan mereka berkisar dari yang hal yang remeh hingga yang bersifat teknis dan entah materi diskusinya menyangkut permainan komputeratau enskripsi atau peranti lunak penyaji iklan, bukan hal yang ajaib untuk mendengar seseorang berkata, “itu produk yang saya bantu kembangkan sebelum saya ke Google.”
            Kultur Google sangat informal. Googlers bekerja secara berkelompok di daerah yang sangat padat, dengan tiga atau empat staff menyebarkan daerah dengan sofa dan anjing. Hierarki korparat hampir tidak kelihatan dan karyawan mengenakan pakaian yang tidak seragam. Webmaster internasional yang membuat logo liburan Google menghabiskan waktu seminggu untuk menerjemahkan seluruh situs ke dalam bahasa koreakepala mekanik operasinya juga spesialis bedah syaraf berlisensi.
Kebijakan perekrutan google lebih menekankan kemampuan daripada staf yang mencerminkan audiens  global yang dilayani oleh mesin pencari tersebut. Google mempunyai kantor-kantor di seluruh dunia dan pusat-pusat rekayasa Google merekrut calon-calon berbakat di banyak sekali lokasi mulai dari zurich hingga Bangalore. Lusinan bahasa dipakai oleh staf Goggle dari bahasa Turki hingga bahasa Telugu. Pada ketika tidak bekerja, Googlers melaksanakan hobi mereka dari bersepeda lintas alam hingga merasakan minuman anggur, dan terbang hingga ke bermain Frisbee (Merek cakram plastic yang dilempar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah permainan,penerj.). Reza Behforooz, seorang teknisi peranti lunak Google berkomentar, “Google mempunyai lingkungan kerja yang sangat keren dan menyenangkan-dan kometmen yang berpengaruh terhadap keunggulan teknis sehingga kami sanggup membangun produk-produk terbaik guna membantu semua orang di seluruh dunia.”
Kultur Organisasi yang berpengaruh sebagaimana dimiliki Google memberi arah kepada perusahaan tersebut.Hal ini juga mengarahkan para karyawan.Kultur organisasi yang berpengaruh membantu mereka memahami “cara segala sesuatu dilakukan di sini”.Kultur yang berpengaruh juga memperlihatkan stabilitas bagi sebuah organisasi. Tetapi, bagi sebagian organisasi,kultur yang berpengaruh bias menjadi hambatan besar untuk berubah. Di serpihan ini, kita akan melihat bahwa setiap organisasi mempunyai sebuah kultur dan, bergantung pada kekuatannya, kultur itu sanggup mempunyai dampak yang signifikan terhadap sikap dan sikap anggota organisasi.

Institusionalisasi: Pelopor Kultur
Ide untuk memandang organisasi sebagai kultur----- di mana terdapat sebuah system makna yang dimiliki bersama oleh para anggotanya-----merupakan sebuah fenomena yang relative baru.Hingga pertrngahan 1980-an, organisasi, sebagaimana besarnya, dianggap sebagai sarana rasional untuk mengoordinasi dan mengendalikan sekelompok orang.Dulu, organisasi mempunyai tingkatan-tingkatan vertical, banyak sekali departemen, kekerabatan kewenangan, dan sebagainya.Tetapi kini, organisasi lebih dari pada itu.Kini, organisasi juga mempunyai kepribadian, suportif, inovatif ataupun konservatif. Kantor General Electric dan orang-orang berbeda dengan kantor dan orang-orang di General Mills. Havard dan MIT (Massachussettes Institute of Technology,penerj.) bergerak di dunia bisnis yang sama----pendidikan----dan hanya terpisah selebar Sungai Charles, tetapi masing-masing mempunyai perasaan dan huruf yang unik melampaui karakteristik structural. Para hebat teori organisasi sekarang mengakui hal ini dengan mengenali tugas penting yang dimainkan oleh kultur dalam kehidupan anggota-anggota organisasi. Namun, yang menarik, asal-usul kultur sebagai sebuah variable independen yang mensugesti sikap dan sikap seorang karyawan sanggup ditelusuri ke belakang lebih dari 50 tahun kemudian ke gagasan perihal (institusionalisasi).
Ketika terlembagakan , suatu organisasi menjalani kehidupannya terbukti terpisa dari para pendirinya atau anggota-anggotanya. Ross perut mendirikan electronic Data system (EDS) pada awal 1960 an tetapi meninggalkannya pada tahun 1987 untuk mendirikan sebuah perusahaan baru, sony, Gillette, McDonalds, dan Disney ialah contoh-contoh organisasi yang tetap eksis melampaui kehidupan para pendiri mereka ataupun anggota mereka, siapapun ia.
Selain itu, begitu terlembagakan, sebuah organisasi menjadi bernilai bagi dirinya, tidak hanya untuk barang atau jasa yang diproduksinya.Organisasi mendapatkan mortalitasnya jikalau tujuan semulanya tidak lagi relevan, organisasi tidak keluar dari bisnis, tetapi justru meredefinisi dirinya. Contoh klasik ialah March of Dimes, semula organisasi ini di bentuk untuk mendanai usaha melawan polisi ketika polio secara eksternal sudah hilang semenjak 1950-an, Maech of Dimes tidak gulung tikar, ia hanya mendenefisikan sasarannya sebagai penyandang dana riset untuk mengurangi cacat lahir dan menurunkan tingkat janjkematian bayi.
Institusionalisasi berooperasi untuk menghasilkan pemahaman yang sama antara anggota perihal apa yang semestinya dan secara fundamental, sikap yang bermakna. Kaprikornus ketika suatu organisasi menghadapi kemampuan institusional, cara berprilaku yang sanggup diterima menjadi sangat terperinci bagi anggota-anggotanya. Sebagaimana akan kita lihat,pada hakikatnya hal yang sama inilah yang dilakukan oleh kultur organisasi. Maka, pemahaman mengenai apa yang memnbentuk kultur organisasidan bagaimana kultur tersebut diciptakan, dipertahankan, dan dipelajari akan meningkatkan kemapuan kita untuk menjelaskan dan memprediksi sikap orang di daerah kerja.

Definisi
Kiranya ada kesepakatan yang luas bahwa kultur organisasi (organizational culture) mengacu pada sebuah sistem makna bersama yang di anut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainya. Sistem makna bersama ini, ketika dicermati secara lebih seksama, ialah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi.  Penelitian mengambarkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang secara keseluruhan merupakan hakikat kultur sebuah organisasi :
1.      Inovasi  dan keberanian mengambil resiko. Sejauh mana karyawan di dorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
2.      Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diperlukan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
3.      Orientasi hasil. Sejauh mana administrasi berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang dipakai untuk mencapai hasil tersebut.
4.      Orientasi orang. Sejauh mana keputusan keputusan manejemen mempertimbangkan imbas dari hasil tersebut ats orang yang ada dalam organisasi.
5.      Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi dalam tim ketimbang individu-individu
6.      Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap kasar dan kompetitif ketimbang santai .
7.      Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Masing-masing karakteristik ini berada di suatu kontinum mulai dari rendah hingga tinggi. Karenanya, menilai organisasi menurut ketujuh karakteristik ini akan menghasilkan suatu gambaran utuh mengenai kultur sebuah organisasi. Gambaran ini menjadi basis bagi sikap pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana segala sesuatu dilakukan di dalamnya, dan cara para anggota diperlukan berperilaku.

Kultur ialah suatu istilah deskriptif
Kultur organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik kultur suatu organisasi, bukan dengan apakah mereka menyukai karakteristik itu atau tidak, kultur organisasi ialah suatu istilah deskriptif. Ini penting lantaran hal ini membedakan konsep ini dari konsep kepuasan kerja.
            Penelitian mengenai kultur organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasi mereka: Apakah menekan inisiatif? Sebaliknya, kepuasan kerja berusaha mengukur respons afektif terhadap lingkungan kerja. Kepuasan Kerja berafiliasi dengan bagaimana karyawan merasakan ekspektasi organisasi, disangsikan lagi mempunyai karakteristik yang saling tumpang tindih, harus ingat bahwa istilah kultur organisasi bersifat deskriptif, sementara kepuasan kerja bersifat evaluatif.

Apakah Organisasi Memiliki Kultur yang Seragam?
Kultur organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama dari para anggota organisasi. Ini menjadi terperinci manakala kita mendefinisikan kultur sebagai sebuah sistem makna bersama. Karena itu, kita bisa berharap bahwa individu-individu yang mempunyai latar belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan memahami kultur organisasi dengan pengertian yang serupa.
Namun, ratifikasi bahwa kultur organisasi mempunyai pengertian yang sama tidak berarti bahwa tidak dimungkinkan adanya subkultur di dalam kultur tertentu. Sebagian besar organisasi mempunyai kultur mayoritas dan banyak subkultur. Sebuah kultur mayoritas (dominant culture) mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh mayoritas anggota organisasi. Ketika berbicara perihal kultur sebuah organisasi, kita merujuk pada kultur dominannya. Inilah pandangan makro terhadap kultur yang memperlihatkan kepribadian tersendiri pada sebuah organisasi. Subkultur (subculture) cenderung berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi, atau pengalaman yang sama yang dihadapi oleh para anggota. Berbagai subkultur ini mungkin muncul di tingkat departemen dan disebabkan oleh faktor geografis. Departemen pembelian, misalnya, sanggup mempunyai sebuah subkultur yang mempunyai sebuah subkultur yang dimiliki secara tolong-menolong secara unik oleh anggota-anggota departemen itu. Subkultur itu meliputi nilai-nilai inti (core values) dari kultur mayoritas ditambah nilai-nilai komplemen yang unik bagi anggota departemen pembelian. Demikian pula, sebuah kantor atau unit organisasi yang secara fisik terpisah dari kantor utama organisasi mungkin mempunyai kepribadian yang berbeda. Lagi-lagi, nilai inti tetap dipertahankan, tetapi dimodifikasi untuk mencerminkan situasi unik dari unit terpisah itu.
            Jika organisasi tidak mempunyai kultur mayoritas dan hanya tersusun atas banyak subkultur, nilai kultur organisasi sebagai sebuah variable independen akan berkurang secara signifikan lantaran tidak akan ada keseragaman penafsiran mengenai apa yang merupakan sikap yang semestinya dan sikap yang tidak semestinya. Aspek “makna bersama” dan kultur inilah yang menjadikannya sebagai alat potensial untuk membangun dan membentuk perilaku. Itulah yang memungkinkan kita mengatakan, misalnya, bahwa kultur Microsoft menghargai keagresifan dan pengambilan resiko. Dan selanjutnya memakai informasi tersebut untuk lebih memahami sikap dari para direktur dan karyawan bahwa banyak organisasi juga mempunyai banyak sekali subkultur yang tidak diragukan bias memengaruhi sikap anggota-anggotanya.


Kultur Kuat versus Kultur Lemah
Membedakan kultur yang berpengaruh dari kultur yang lemah menjadi semakin popular berilmu balig cukup akal ini. Argumennya di sini ialah bahwa kultur yang berpengaruh mempunyai dampak yang lebih besar terhadap sikap karyawan dan lebih berkait eksklusif dengan menurunnya perputaran karyawan.
Dalam kultur yang kuat (strong culture), nilai-nilai inti organisasi dipegang teguh dan dijunjung bersama. Semakin banyak anggota yang mendapatkan nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap banyak sekali nilai itu, semakin berpengaruh kultur tersebut. Selaras dengan definisi ini, kultur yang berpengaruh akan mempunyai dampak yang besar terhadap sikap anggota-anggotanya lantaran kadar kebersamaan dan intensitas yang tinggi. Sebagai contoh, Nordstrom yang bermarkas di Seattle telah mengambangkan salah satu kultur layanan terkuat dalam industry ritel. Karyawan-karyawan Nrdstrom niscaya tahu apa yang diperlukan dari mereka dan cita-cita ini memntuk sikap mereka.
Salah satu hasil spesifik dari kultur yang berpengaruh ialah menurunnya tingkat perputaran karyawan. Kultur yang berpengaruh memperlihatkan kesepakatan yang tinggi antar anggota mengenai apa yang  keharmonisan tujuan semacam ini membangun kekompakan, loyalitas, dan komitmen keorganisasian. Sifat-sifat ini, pada gilirannya, memperkecil kecendurungan karyawan untuk meninggalkan organisasi.

Kultur versus Formalisasi
Kultur organisasi yang berpengaruh meningkatkan konsistensi perilaku. Dalam pengertian ini, kita semestinya menyadari bahwa kultur yang berpengaruh sanggup bertindak sebagai pengganti formalisasi.
Di serpihan sebelumnya, kita telah membahas bagaimana hukum dan ketentuan formalisasi berfungsi mengatur sikap karyawan. Formalisasi yang tinggi dalam sebuah organisasi membuat prediktabilitas, keteraturan dan konsistensi. Persoalan kita di sini ialah bahwa kultur yang berpengaruh bisa mengantar anggota organisasi mencapai tujuan yang sama tanpa perlu dokumentasi tertulis. Karena itu, kita bias memandang formalisasi dan kultur sebagai dua jalan yang berbeda menuju ke tujuan yang sama. Semakin berpengaruh kultur sebuah organisasi, semakin kecil kebutuhan administrasi untuk menyusun dan memutuskan bermacam-macam hukum dan ketentuan formal yang dimaksudkan guna menuntun sikap karyawan. Tuntunan itu akan diinternalisasikan dalam diri karyawan ketika mereka memeluk kultur organisasi tersebut.

Kultur Organisasi versus Kultur Nasional
Di sepanjang buku ini, kita memegang keyakinan bahwa perbedaan Negara---yaitu, kultur nasional-----harus diperhitungkan ketika kita mau membuat prediksi akurat mengenai sikap organisasi di Negara yang berbeda. Tetapi, apakah kultur nasional berada di atas kultur sebuah organisasi? Apakah kemudahan IBM di Jerman, misalnya, lebih mungkin mencerminkan kultur etnis Jerman atau kultur korporat IBM?
Penelitian memperlihatkan bahwa kultur nasional mempunyai dampak yang lebih besar terhadap karyawan daripada kultur organisasi mereka. Karena itu, karyawan yang berkebangsaan Jerman di sebuah kemudahan milik IBM di Munich akan lebih dipengaruhi oleh kultur Jerman daripada oleh kultur IBM. ini berarti bahwa bila kultur organisasi ditemukan mensugesti pembentukan sikap karyawan, kultur nasional demikian pula, bahkan lebih. Kesimpulan sebelumnyaharus dikualifikasi untuk mencerminkan pilihan individual yang muncul pada tahap perekrutan. Sebuah korporasi multinasional Inggris, misalnya, kiranya tidak terlalu khawatir ketika merekrut orang yang “tipikal Italia” untuk operasinya di Italia daripada merekrut seorang Italia yang sesuai dengan cara peruasahaan menjalankan segala sesuatu. Karenanya kita bisa berharap bahwa proses seleksi karyawan akan dipakai oleh perusahaan multinasional tersebut untuk mencari dan merekrut pelamar kerja yang sesuai dengan kultur mayoritas organisasi mereka, sekalipun pelamar ibarat ini agak atipikal (tidak lazim) untuk anggota negara mereka.

Fungsi-fungsi Kultur
            Kultur mempunyai sejumlah fungsi dalam sebuah organisasi. Pertama, kultur berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, kultur membuat perbedaan atau distingsi antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Kedua, kultur memuat rasa identitas anggota organisasi. Ketiga, kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu. Keempat, kultur meningkatkan stabilitas sistem sosial. Terakhir, kultur bertindak sebagai mekanisme sense-making serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan sikap karyawan.
            Peran kultur dalam mensugesti sikap karyawan menjadi semakin penting di daerah kerja ketika ini. Tatkala organisasi terus memperluas rentang kendali, meratakan struktur, memperkenalkan tim, mengurangi formalisasi, dan memberdayakan karyawan mereka, makna bersama yang diberikan oleh kultur yang berpengaruh memastikan bahwa setiap orang dituntun ke arah yang sama.
            Siapa yang diterima untuk bergabung dalam organisasi, yang dinilai sebagai karyawan berkinerja tinggi, dan yang menerima promosi sangat dipengaruhi oleh “ketaatan” individu-organisasi. Artinya, apakah sikap dan sikap pelamar atau karyawan cocok dengan kultur yang ada. Bukan sebuah kebetulan bahwa hampir semua karyawan di taman hiburan Disney kelihatan menarik, bersih, segar, dengan senyum cemerlang. Citra itulah yang memang dicari Disney. Perusahaan menyeleksi karyawan yang sanggup mendukung gambaran itu. Bila mereka sudah diterima bekerja, kultur yang kuat, yang didukung oleh hukum dan ktentuan formal yang ada, memastikan bahwa karyawan di taman hiburan Disney akan bertindak dengan cara yang relative seragam dan sanggup diprediksi.

Kultur sebagai Beban
Kami tidak menyampaikan bahwa kultur itu baik atau buruk, tetapi sekedar menyampaikan bahwa kultur itu ada. Banyak dari fungsinya, ibarat telah diuraikan, sangat bernilai baik bagi organisasi maupun karyawan. kultur mempertinggi komitmen organisasional dan meningkatkan konsistensi sikap karyawan. Ini terperinci merupakan laba bagi organisasi. Dari sudut pandang karyawan, kultur bernilai lantaran mengurangi ambiguitas. Kultur memberi tahu karyawan bagaimana segala sesuatu dilakukan dan apa yang penting. Tetapi, kita dihentikan mengabaikan aspek-aspek kultur yang berpotensi disfungsional, terutama aspek yang besar, terhadap keefektifan sebuah organisasi.
Hambatan untuk Perubahan. Kultur menjadi kendali manakala nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak sejalan dengan nilai-nilai yang sanggup meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini paling munglcin terjadi bila lingkungan sebuah organisasi bersifat dinamis. Ketika lingkungan terus berubah dengan cepat), kultur yang sudah berpengaruh mengakar dalam sebuah organisasi mungkin tidak pas lagi. Karenanya, konsistensi sikap menjadi aset bagi sebuah organisasi hanya ketika hal ini berhadapan dengan lingkungan yang stabil. Namun, konsistensi semacam itu bisa menghambat dan mempersulit organisasi untuk menanggapi perubahan yang terjadi di lingkungan. Hal ini membantu menjelaskan tantangan-tantangan yang dihadapi para direktur di organisasi-organisasi ibarat Mitsubishi, Easfman Kodak, Boeing, dan Biro Penyelidikan Federal (Federal Bureau of Inuestigation-FBl) AS belakangan ini dalam beradaptasi dengan-dinamika lingkungan mereka. Organisasi-organisasi ini mempunyai kultur berpengaruh yang berhasil di masa silam. Tetapi, kultur-kultur yang berpengaruh ini menjadi hambatan untuk berubah ketika “bisnis sebagaimana biasanya” tidak lagi efektif.
Hambatan bagi Keragaman. Merekrut karyawan gres yang, lantaran faktor ras, usia, jenis kelamin, ketidakmampuan (cacat), atau perbedaan-perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas anggota organisasi lain akan membuat sebuah paradoks. Manajemen menginginkan karyawan gres tersebut mendapatkan nilai-nilai inti dari kultur organisasi. Jika tidak, karyawan-karyawan ini mustahil cocok atau diterima. Tetapi pada ketika yang sama, administrasi ingin secara terbuka mengakui dan menjunjung tinggi banyak sekali perbedaan yang dibawa oleh karyawan-karyawan ini ke daerah kerja.
Kultur yang berpengaruh memberi tekanan yang besar kepada karyawan untuk menyesuaikan diri. kultur tersebut membatasi rentang nilai dan gaya yang sanggup diterima. Dalam beberapa contoh, ibarat kasus Texaco yang banyak dipublikasikan (yang diselesaikan atas nama 1.400 karyawan dengan uang ganti rugi senilai 1,76 juta dolar) di mana para manajer senior membuat keterangan yang tidak menyenangkan mengenai kelompok minoritas, sebuah kultur yang berpengaruh yang menghidup-hidupkan prasangka sanggup memperlemah kebijakan formal keragaman korporat. Organisasi mencari dan merekrut individu yang berbeda-beda lantaran kekuatan alternatif yang mereka bawa ke daerah kerja. Namun, sikap dan kekuatan yang bermacam-macam ini kiranya akan berkurang didalam kultur organisasi yang berpengaruh lantaran orang mau tidak mau harus menyesuaikan dirinya. Karena itu, kultur yang berpengaruh bisa menjadi hambatan manakala secara efektit meniadakan kekuatan-kekuatan unik yang dibawa oleh orang dengan bermacam-macam latar belakang ke dalam organisasi. selain itu, kultur yang berpengaruh juga bisa menjadi penghambat ketjka mendukung bias institusional atau tidak sensitif pada perbedaan orang.
Hambatan bagi Akuisisi dan Merger. Secara historis, faktor-faktor kunci yang diperhatikan administrasi ketika membuat keputusan akuisisi atau merger terkait dengan gosip laba finansial atau sinergi produk. Belakangan ini, kompatibilitas (kesesuaian) kultur juga menjadi fokus utama. Sementara laporan keuangan atau lini produk yang menggembirakan mungkin merupakan daya tarik awal dari perusahaan yang akan diakuisisi, apakah akuisisi tersebut benar-benar akan berhasil sepertinya lebih terkait dengan seberapa cocok atau sesuai kultur kedua organisasi tersebut.
Banyak akuisisi yang gagal tidak usang sesudah proses penggabungan' Sebuah survei oleh konsultan A.T. Kearney mengungkapkan bahwa 58 persen merger gagal mencapai nilai sasaran yang ditetapkan oleh manajer puncak. Penyebab utama kegagalan tersebut ialah kultur orgagisasi yang saling bertentangan. Sebagaimana komentar seorang pakar, “Merger mempunyai tingkat kegagalan yang saling tinggi, dan senantiasa disebabkan oleh kasus manusia” Sebagai contoh, merger senilai 183 miliar dolar pada tahun 2001 antara America online (AOL) dari Time warner ialah yang terbesar dalam sejarah korporat. Merger tersebut berkembang menjadi bencana-hanya dua tahun setelahnya, nilai saham mereka merosot drastis sebesar 90 persen. Benturan kultur umumnyl dianggap sebagai salah satu penyebab timbulnya permasalahan di AoL Time warner' Sebalaimana dinyatakan seorang pakar. “Dalam beberapa hal' merger AOL dan Time Warner ialah ibarat janji nikah seorang remaja dengan seorang bankir berusia paruh baya. Kultur mereka sangat berbeda. Di AoL, orang memakai baju santai dan jins. Time Warner lebih konservatif dalam hal pakaian.

Menciptakan dan Mempertahankan Kultur
Kultur sebuah organisasi tidak muncul begitu saja. Bila sudah mapan, kultur itu susah terhapuskan. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi penciptaan sebuah kultur? Apa yang memperkuat dan menjaga kekuatan-kekuatan kultur ini begitu hal ini mapan? Kita akan menemukan tanggapan atas kedua pertanyaan ini di serpihan berikutnya.

Mempertahankan Kelangsungan Hidup Kultur
Ketika suatu kultur sudah terbentuk, dibutuhkan praktik-praktik di dalam organisasi yang berfungsi memeliharanya dengan cara membuat karyawan mempunyai pengalaman yang sama. Sebagai contoh  banyak praktik pengembangan sumber daya insan yang akan kita bahas di serpihan selanjutnya merupakan upaya terkuat kultur organisasi. Proses seleksi, kriteria penilaian kinerja acara pembinaan dan pengembangan dan mekanisme promosi memastikan bahwa mereka yang direkrut  sesuai dengan kultur yang ada memberi imbalan mereka yang  yang mendukungnya dan memberi sanksi. (dan bahkan mendepak) mereka yang menentangnya. Ada tiga hal yang memainkan tugas sangat penting dalam  mempertahankan sebuah kultur ; praktik seleksi, tindakan administrasi puncak, dan metode sosialisasi. Mari kita amati masing-masing secara lebih seksama.
Seleksi, tujuan eksplisit dari proses seleksi ialah mengidentifikasi dan merekrut individu-individu yang mempunyai pengetahuan keterampilan dan kemampuan untuk berhasil menjalankan pekerjaan di dalam organisasi. Biasanya, ada lebih dari satu calon yang memenuhi persyaratan kerja yang ditentukan yang teridentifikasi. Ketika hal tersebut terjadi, naif untuk mengabaikan fakta bahwa keputusan final mengenai siapa yang direkrut akan banyak dipengaruhi oleh penilaian pengambil keputusan menyangkut seberapa cocok seorang calon dengan organisasi. Upaya untuk memastikan kesesuaian ini, entah disengaja atau tidak, menghasilkan rekrutan yang memegang nilai-nilai yang pada pada dasarnya selaras dengan nilai-nilai organisasi, atau paling tidak beberapa serpihan dari nilai-nilai itu.  Selain itu proses seleksi memberi informasi kepada para pelamar mengenai organisasi tersebut. Para calon belalar perihal organisasi itu dan jikalau menemukan atau merasakan suatu kontradiksi antara nilai-nilai mereka dan nilai-nilai organisasi, mereka bisa mundur teratur. Karena itu, seleksi menjadi jalan dua arah yang memungkinkan pemberi kerja dan pelamar membatalkan sebuah “perkawinan” jikalau tampak adanya ketidakcocokan. Dengan cara demikian proses seleksi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup kultur sebuah organisasi dengan cara mengeluarkan individu-individu yang mungkin tidak sesuai atau akan menggerogoti nilai-nilai intinya.
Sebagai contoh,  W.L. Gore & Associates, pembuat kain Gore-Tex yang dipakai untuk pakaian luar membanggakan kultur organisasinya yang ditandai oleh demokrasi dan kolaborasi tim. Tidak ada nama jabatan di Gore dan tidak ada pula atasan ataupun rantai komando. Semua pekerjaan dilakukan dalam tim. Dalam proses seleksinya tim-tim karyawan mengharuskan pelamar kerja menjalani wawancara ekstensif untuk memastikan bahwa calon yang tidak sanggup menghadapi tingkat ketidakpastian, fleksibilitas, dan kerja tim yang harus karyawan hadapi di pabrik-pabrik Gore akan terpental.


 BERSAMBUNG








Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Kultur Organisasi"

Post a Comment