Contoh Dinamika Partai Politik

( 13 halaman )




DINAMIKA PARTAI POLITIK
DAN DEMOKRASI



1. Partai dan Pelembagaan Demokrasi

Partai politik memiliki posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan tugas penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang beropini bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, menyerupai dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sesungguhnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai politik hanya lah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan bunyi rakyat yang gampang dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ‘at the expense of the general will’ (Rousseau, 1762) atau kepentingan umum (Perot, 1992).
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama besar lengan berkuasa dan bersifat saling mengendalikan dalam kekerabatan “checks and balances”. Akan tetapi bila lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi ialah partai-partai politik yang rakus atau ekstrim lah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh alasannya ialah itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip “checks and balances” dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip “checks and balances” berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu berkaitan bersahabat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya mensugesti tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.
Tentu saja, partai politik ialah merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud lisan ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di samping partai politik, bentuk lisan lainnya terjelma juga dalam wujud kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi non-partai politik menyerupai lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), organisasi non pemerintah (NGO’s), dan lain sebagainya.
Namun, dalam hubungannya dengan acara bernegara, peranan partai politik sebagai media dan wahana tentulah sangat menonjol. Di samping faktor-faktor yang lain menyerupai pers yang bebas dan peranan kelas menengah yang tercerahkan, dan sebagainya, peranan partai politik sanggup dikatakan sangat menentukan dalam dinamika acara bernegara. Pertai politik betapapun juga sangat berperan dalam proses dinamis usaha nilai dan kepentingan (values and interests) dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan dalam konteks acara bernegara.
Partai politik lah yang bertindak sebagai mediator dalam proses-proses pengambulan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Menurut Robert Michels dalam bukunya, “Political Parties, A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy”, “... organisasi ... merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif”.
Kesempatan untuk berhasil dalam setiap usaha kepentingan sangat banyak tergantung kepada tingkat kebersamaan dalam organisasi. Tingkat kebersamaan itu terorganisasikan secara tertib dan teratur dalam pelaksanaan usaha bersama di antara orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama yang menjadi anggota organisasi yang bersangkutan.
Karena itu, sanggup dikatakan bahwa berorganisasi itu merupakan prasyarat mutlak dan hakiki bagi setiap usaha politik. Dengan begitu, harus diakui pula bahwa peranan organisasi partai sangat penting dalam rangka dinamika pelembagaan demokrasi. Dengan adanya organisasi, usaha kepentingan bersama menjadi besar lengan berkuasa kedudukannya dalam menghadapi pihak lawan atau saingan, alasannya ialah kekuatan-kekuatan yang kecil dan terpecah-pecah sanggup dikonsolidasikan dalam satu front.
Proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bab yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Karena itu, berdasarkan Yves Meny and Andrew Knapp, “A democratic system without political parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”. Suatu sistem politik dengan hanya 1 (satu) partai politik, sulit sekali dibayangkan untuk disebut demokratis, apalagi bila tanpa partai politik sama sekali.
Tingkat atau derajat pelembagaan partai politik itu sendiri dalam sistem demokrasi, berdasarkan Yves Meny dan Andrew Knapp, tergantung kepada 3 (tiga) parameter, yaitu (i) “its age”, (ii) “the depersonalization of organization”, dan (iii) “organizational differentiation”.[i] Setiap organisasi yang normal tumbuh dan berkembang secara alamiah berdasarkan tahapan waktunya sendiri. Karena itu, makin renta usianya, ide-ide dan nilai-nilai yang dianut di dalam organisasi tersebut semakin terlembagakan (institutionalized) menjadi tradisi dalam organisasi.
Organisasi yang berkembang makin melembaga cenderung pula mengalami proses “depersonalisasi”. Orang dalam maupun orang laur sama-sama menyadari dan memperlakukan organisasi yang bersangkutan sebagai institusi, dan tidak dicampur-adukkannya dengan perkara personal atau pribadi para individu yang kebetulan menjadi pengurusnya. Banyak organisasi, meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi tidak terbangun suatu tradisi dimana urusan-urusan pribadi pengurusnya sama sekali terpisah dan dipisahkan dari urusan keorganisasian. Dalam hal demikian, berarti derajat pelembagaan organisasi tersebut sebagai institusi, masih belum kuat, atau lebih tegasnya belum terlembagakan sebagai organisasi yang kuat.
Jika hal ini dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia, banyak sekali organisasi kemasyarakatan yang kepengurusannya masih sangat “personalized”.  Organisasi-organisasi besar di bidang keagamaan, menyerupai Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, dan lain-lain dengan derajat yang berbeda-beda, masih memperlihatkan tanda-tanda personalisasi yang besar lengan berkuasa atau malah sangat kuat. Organisasi-organisasi di bidang kepemudaan, di bidang sosial, dan bahkan di bidang pendidikan, banyak sekali yang masih ‘personalized’, meskipun derajatnya berbeda-beda. Bahkan, saking bersifat ‘personalized’nya organisasi yang dimaksud, banyak pula di antaranya yang segera bubar tidak usang sesudah ketuanya meninggal dunia.
Gejala “personalisasi” juga terlihat tatkala suatu organisasi mengalami kesulitan dalam melaksanakan suksesi atau pergantian kepemimpinan. Dikatakan oleh Monica dan Jean Charlot,
Until a party (or any association) has surmounted the crisis of finding a successor to its founder, until it has drawn up rules of succession that are legitimate in the eyes of its members, its ‘institutionalization’ will remain precarious”.
Selama suatu organisasi belum sanggup mengatasi krisis dalam pergantian kepemimpinannya, dan belum berhasil meletakkan dasar pengaturan yang sanggup diakui dan dipercaya oleh anggotanya, maka selama itu pula pelembagaan organisasi tersebut masih bermasalah dan belum sanggup dikatakan kuat. Apalagi bila pergantian itu berkenaan dengan pemimpin yang merupakan pendiri yang berjasa bagi organisasi bersangkutan, seringkali timbul kesulitan untuk melaksanakan pergantian yang tertib dan damai. Namun, derajat pelembagaan organisasi yang bersangkutan tergantung kepada bagaimana perkara pergantian itu sanggup dilakukan secara “impersonal” dan “depersoanlized”.
Jika kita memakai parameter “personalisasi” ini untuk menilai organisasi kemaysrakatan dan partai-partai politik di tanah air kita sampaumur ini, tentu banyak sekali organisasi yang dengan derajat yang berbeda-beda sanggup dikatakan belum semuanya melembaga secara “depersonalized”. Perhatikanlah bagaimana partai-partai menyerupai Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan sebagainya. Ada yang diiringi oleh perpecahan, ada pula yang belum sama sekali berhasil mengadakan lembaga Kongres, Musyawarah Nasional atau Muktamar.
Di samping kedua parameter di atas, derajat pelembagaan organisasi juga sanggup dilihat dari segi “organizational differentiation”. Yang perlu dilihat ialah seberapa jauh organisasi kemasyarakatan ataupun partai politik yang bersangkutan berhasil mengorganisasikan diri sebagai instrumen untuk membolisasi derma konstituennya. Dalam sistem demokrasi dengan banyak partai politik, aneka ragam aspirasi dan kepentingan politik yang saling berkompetisi dalam masyarakat memerlukan penyalurannya yang sempurna melalui pelembagaan partai politik. Semakin besar derma yang sanggup dimobilisasikan oleh dan disalurkan aspirasinya melalui suatu partai politik, semakin besar pula potensi partai politik itu untuk disebut telah terlembagakan secara tepat.
Untuk menjamin kemampuannya memobilisasi dan menyalurkan aspirasi konstituen itu, struktur organisasi partai politik yang bersangkutan haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga ragam kepentingan dalam masyarakat sanggup ditampung dan diakomodasikan seluas mungkin. Karena itu, struktur internal partai politik penting untuk disusun secara tepat. Di satu pihak ia harus sesuai dengan kebutuhan untuk mobilisasi derma dan penyaluran aspirasi konstituen. Di pihak lain, struktur organisasi partai politik juga harus diadaptasi dengan format organisasi pemerintahan yang diidealkan berdasarkan visi partai politik yang dimintakan kepada konstituen untuk mengatakan derma mereka. Semakin cocok struktur internal organisasi partai itu dengan kebutuhan, makin tinggi pula derajat pelembagaan organisasi yang bersangkutan.

2. Fungsi Partai Politik

Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu berdasarkan Miriam Budiardjo, meliputi sarana: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management).  Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu meliputi fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan dampak terhadap sikap menentukan (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana klarifikasi terperinci pilihan-pilihan kebijakan;
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political interests” yang terdapat atau adakala yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga sanggup dibutuhkan mensugesti atau bahkan menjadi bahan kebijakan kenegaraan yang resmi.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melaksanakan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapat ‘feedback’ berupa derma dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-antara atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan tugas dalam membumikan harapan kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Misalnya, dalam rangka keperluan memasyarakatkan kesadaran negara berkonstitusi, partai sanggup memainkan tugas yang penting. Tentu, pentingnya tugas partai politik dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa hanya partai politik saja yang memiliki tanggungjawab langsung untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan, dan bahkan para pemimpin politik yang duduk di dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan pemerintahan administrator memiliki tanggungjawab yang sama untuk itu. Yang hendak ditekankan disini ialah bahwa peranan partai politik dalam rangka pendidikan politik dan sosialisasi politik itu sangat lah besar.
Fungsi ketiga partai politik ialah sarana rekruitmen politik (political recruitment). Partai dibuat memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, menyerupai oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya.
Tentu tidak semua jabatan yang sanggup diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional di bidang-bidang kepegawai-negerian, dan lain-lain yang tidak bersifat politik (poticial appointment), tidak boleh melibatkan tugas partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan alasannya ialah itu memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui mekanisme politik pula (political appointment).
Untuk menghindarkan terjadinya percampuradukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara jabatan-jabatan yang bersifat politik itu dengan jabatan-jabatan yang bersifat teknis-administratif dan profesional. Di lingkungan kementerian, hanya ada 1 jabatan saja yang bersifat politik, yaitu Menteri. Sedangkan para pembantu Menteri di lingkungan instansi yang dipimpinnya ialah pegawai negeri sipil yang tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.
Jabatan dibedakan antara jabatan negara dan jabatan pegawai negeri. Yang menduduki jabatan negara disebut sebagai pejabat negara. Seharusnya, agar sederhana, yang menduduki jabatan pegawai negeri disebut pejabat negeri. Dalam jabatan negeri atau jabatan pegawai negeri, khususnya pegawai negeri sipil, dikenal adanya dua jenis jabatan, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional.
Jenjang jabatan itu masing-masing telah ditentukan dengan sangat terang hirarkinya dalam rangka penjenjangan karir. Misalnya, jenjang jabatan struktural tersusun dalam mulai dari eselon 5, 4, 3, 2, hingga ke eselon 1. Untuk jabatan fungsional, jenjang jabatannya ditentukan berdasarkan sifat pekerjaan di masing-masing unit kerja. Misalnya, untuk dosen di akademi tinggi yang paling tinggi ialah guru besar. Jenjang di bawahnya ialah guru besar madya, lektor kepala, lektor kepala madya, lektor, lektor madya, lektor muda, dan ajun ahli, ajun jago madya, asisten. Di bidang-bidang lain, baik jenjang maupun nomenklatur yang digunakan berbeda-beda tergantung bidang pekerjaannya.
Untuk pengisian jabatan atau rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik langsung ataupun tidak langsung, partai politik sanggup berperan. Dalam hal ini lah, fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen politik (political recruitment) dianggap penting. Sedangkan untuk pengisian jabatan negeri menyerupai tersebut di atas, partai sudah seharusnya dihentikan untuk terlibat dan melibatkan diri.
Fungsi keempat ialah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, banyak sekali kepentingan yang beraneka ragam itu sanggup disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang mengatakan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management) partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui akses kelembagaan politik partai. Karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengeloa konflik sanggup dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan bermacam-macam kepentingan itu


 BERSAMBUNG






Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Dinamika Partai Politik"

Post a Comment