Contoh Budaya Organisasi Di Sekolah

( 19 halaman )



A. Pengertian Budaya Organisasi
Pemahaman perihal budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar perihal budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak dipakai dalam bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang beropini budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan insan yang berbudi luhur dan yang bersifat   rohani, ibarat : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah semenjak usang disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai  sebuah kata benda, sekarang lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan acara manusia.  Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower ibarat disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas menawarkan pengertian budaya sebagai “cara kita melaksanakan hal-hal di sini”.
Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya yakni :  “ The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”.
Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya  tentang Organizational Culture & Leadership mendefinisikan  budaya sebagai:
 A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems.

Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu  shared basic assumptions atau menganggap niscaya terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa perkiraan meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan perkiraan dasar perihal dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief  (keyakinan) merupakan  state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas.
Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mensugesti insan untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya  (1995) menawarkan gambaran perihal nilai  sebagai berikut :
…setiap orang mempunyai banyak sekali pengalaman  yang memungkinkan ia berkembang dan belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Misalnya, bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana menentukan tindakan yang sempurna dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam waktu dan kawasan tertentu.”

Pada bab lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2) nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : “ a value system is learned  organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.”
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau membuatkan nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya membuatkan nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam.  Namun menerima  dan menggunakan seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk gambaran organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997)  bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.
Pada bab lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption  dihasilkan melalui : (1)  evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2)  hypothesis becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kolaborasi yang terjalin antar anggota mempunyai unsur visi dan misi, sumber daya, dasar aturan struktur, dan anatomi yang terang dalam rangka mencapai tujuan tertentu. 
Sejak lebih dari  seperempat masa yang lalu, kajian perihal budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan mahir maupun praktisi manajemen, terutama  dalam rangka memahami dan mempraktekkan sikap organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat  dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
(1)   Dimensi  external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu:   (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
(2)   Dimensi  internal integration yang di dalamnya terdapat  enam aspek  utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and religion.
Pada bab lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, meliputi : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.
Sementara itu, Fred Luthan (1995)  mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah,  atau  ritual tertentu; (2) norms; yakni banyak sekali standar sikap yang ada, termasuk di dalamnya tentang  pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus  dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya  tentang kualitas produk yang tinggi, ketidakhadiran yang rendah atau efisiensi yang tinggi;  (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya aliran yang ketat, dikaitkan dengan  kemajuan organisasi (6) organization climate;  merupakan  perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui  kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain 
Dari ketiga pendapat di atas,  kita melihat adanya perbedaan  pandangan perihal karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi  jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak memperlihatkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi sanggup dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan  bahwa dilihat dari sisi in put, budaya organisasi meliputi umpan balik (feed back) dari  masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, contohnya nilai perihal : uang, waktu, manusia, kemudahan dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berafiliasi dengan efek budaya organisasi terhadap sikap organisasi, teknologi, strategi,  image, produk dan sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan,               John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda.  Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini meliputi perihal apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat  sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan penemuan atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah,  sebagian alasannya anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya sikap suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan gres secara otomatis terdorong untuk mengikuti sikap sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang ajaib dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar.  Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini sanggup dilihat dalam sketsa 1. 




Pada bab lain, John P. Kotter dan James L. Heskett  (1998) memaparkan pula perihal tiga konsep budaya  organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif. Organisasi yang mempunyai budaya yang berpengaruh ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai  dan metode menjalankan perjuangan organisasi. Karyawan gres mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang direktur gres sanggup saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jikalau ia melanggar norma-norma organisasi.
Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku  yang dianut bersama menciptakan orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa janji dan loyalitas menciptakan orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang berpengaruh menawarkan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi  formal yang mencekik  yang sanggup menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi. 
Budaya yang strategis cocok  secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jikalau ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang dipakai di sini yakni “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks sanggup berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau seni administrasi usahanya.       
Budaya yang adaptif  berangkat dari kecerdikan bahwa hanya budaya yang sanggup membantu organisasi  mengantisipasi dan beradaptasi  dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini  merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu.  Para anggota secara aktif mendukung perjuangan satu sama lain untuk mengidentifikasi semua problem dan mengimplementasikan pemecahan yang sanggup berfungsi. Ada  suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka sanggup menata   olah  secara efektif problem gres dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melaksanakan apa saja yang ia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan  bahwa jenis budaya ini  menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang sanggup membantu sebuah organisasi  beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini yakni Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.
B. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan membicarakan perihal proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi sanggup bermula  dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1)  pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya insan asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat.  Selanjutnya dikemukakan  pula bahwa proses budaya sanggup terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2)  benturan budaya; dan (3)  penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak sanggup dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk sanggup mendapatkan nilai-nilai gres dalam organisasi. Lebih jelasnya, proses pembentukan budaya ini sanggup diragakan dalam  bagan 2  berikut ini




Bagan  2.  Pola Umum Munculnya Budaya Organisasi
(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo, h.9)

Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang gres terpilih sanggup diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis sanggup diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang perihal nilai-nilai  kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.
Para manajer  bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan teladan budaya dan gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior sanggup mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus.
Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini sanggup populer dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri sanggup mendorong anggota muda untuk mengambil alih  nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat hukuman (punishment). Imbalan (reward) sanggup berupa materi atau pun promosi  jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk hukuman (punishment) tidak hanya diberikan  berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga sanggup berbentuk hukuman sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.    
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”,  yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi mempunyai budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jikalau terjadi kesalahan dalam menawarkan perkiraan dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses mencar ilmu yang   telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan usang akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian,  Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap administrasi budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur biar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya  secara besar-besaran : (1) Jika organisasi  memiliki nilai-nilai yang berpengaruh namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi  sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi  berukuran sedang-sedang saja atau lebih jelek lagi; (4) Jika organisasi  mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan  (5) Jika organisasi  kecil  tetapi berkembang pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jikalau tidak ada satu pun alasan  yang cocok dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus perjuangan mengubah budaya memperlihatkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 hingga 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah sikap orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan  setengah perbaikan dari yang diinginkan.  Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu, perjuangan dan uang.
C. Penerapan Budaya Organisasi di Sekolah
Dengan memahami konsep perihal budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan perihal penerapan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya  tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai lebih banyak didominasi yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman  sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa  "the commonly held beliefs of teachers, students, and principals."   
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak sanggup dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang  memiliki tugas dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan  keenam jenis nilai dari Spranger beserta sikap dasarnya.
Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya berdasarkan Spranger
No
Nilai
Perilaku Dasar
1
Ilmu Pengetahuan
Berfikir
2
Ekonomi
Bekerja
3
Kesenian
Menikmati keindahan
4
Keagamaan
Memuja
5
Kemasyarakatan
Berbakti/berkorban
6
Politik/kenegaraan
Berkuasa/memerintah





 BERSAMBUNG







Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Budaya Organisasi Di Sekolah"

Post a Comment