Contoh Dan Klarifikasi Makalah Fiqh Sosial




BAB I
PENDAHULUAN
Syari’at Islam merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari’at Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama’ dalam anutan fiqh (fiqh sosial), ialah penataan hal ihwal insan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.[1]

            Fiqih Sosial merupakan tema yang menarik untuk dikaji dan diteliti. Sudah banyak sekali buku dan penelitian yang diterbitkan untuk mengulas pembaruan fiqih yang muncul tahun 1994 di Indonesia ini. Meski demikian, sayang sekali di dunia Arab Islam, istilah al-Fiqhu al-Ijtima‘iy, sebagai terjemah atas Fiqih Sosial, tak dikenal di masyarakat Timur Tengah. TimTeng lebih mengenal konsep yang merupakan dasar dari Fiqih Sosial di Indonesia, yaitu konsep Maqashid al-Syari‘ah dan konsep Fardlu ‘Ain-Fardlu Kifayah.[2]
            Dan untuk mengetahui lebih banyak mengenai fiqh sosial, perlu kiranya menyusun beberapa rumusan kasus biar lebih sistematis dalam pembahasan makalah ini. Diantaranya ialah :
1)      Apa itu fiqh sosial?
2)      Bagaimana paradigma perihal fiqh sosial?
3)      Siapakah tokoh-tokoh dari fiqh sosial dan bagaimana pemikirannya perihal fiqh sosial?





BAB II
PEMBAHASAN
1)      Pengertian Fiqh Sosial
Dalam sejarahnya, Fiqih Sosial muncul sesudah ide-ide pembaruan Fiqih di Indonesia bermunculan. Kita mengenal wangsit Fiqih Indonesia yang dipopulerkan oleh Hasby Assidiqie tahun 1960an (bahkan benihnya sudah muncul semenjak 1940an). Ide itu ditindaklanjuti dengan wangsit Fiqih Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia) oleh Hazairin pada tahun 1960an juga . Kemudian KH. Abdurrahman Wahid (lebih dikenal dengan pangilan Gus Dur) pada 1975 memberikan wangsit Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan. Pada 1980an, Munawir Sjadzali mengusulkan wangsit Reaktualisasi Ajaran Islam. Disusul dengan wangsit Agama Keadilan oleh Masdar F. Mas’udi pada 1990an. Kemudian pada 1991 muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang “dianggap” ijmak Ulama Indonesia, yang diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Baru kemudian muncul wangsit Fiqih Sosial pada 1994 oleh KH. Sahal Mahfudh dan KH. ‘Ali Yafie.
            Sebagai sebuah wacana pemikiran, keberadaan Fiqh Sosial memang belum terdefinisikan secara jelas. Pemakaian istilah fiqh soaial (al-fiqh al-ijtima’i) secara bahasa akan menjadi sempurna apabila disandingkan dengan term lain, yakni fiqh ndividu (al-fiqh al-infiradhi). Kedua istilah ini relative belum dikenla dalam discourse fiqh klasik[3], walaupun tidak sanggup dipungkiri bahwa penjabaran – penjabaran fiqh yang dibangun selama ini tetap mengapresiasikan dua sisi tersebut.
            Jika al-fiqh al-infiradhi lebih menekankan pada aspek anutan perihal korelasi individu dengan Tuhan (ibadah mahdhah) dan korelasi insan dengan insan dalam bentuk personal (baina al-fardh wa al-fardh), Maka fiqh sosial (al-fiqh ijtima’i) lebih menekankan kajiannya pada aspek anutan perihal korelasi antarsesama manusia-individu dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan pendekatan bahasa ini fiqh sosial sanggup dipahami sebagai fiqh yang berdimensi sosial atau fiqh yang dibangun atas dasar korelasi antarindividu atau kelompok didalam masyarakat.[4] Ketiadaan istilah tak otomatis memperlihatkan ketiadaan wangsit dasar istilah tersebut. Adanya indikasi Fiqih Sosial di dunia Arab bisa dilacak dari prosedur Fiqih Sosial itu sendiri. Ini mengingat Fiqih Sosial merupakan tema yang sangat besar. Mekanisme itu diantaranya ialah semangat menjadikan Fiqih tak hanya sebagai justifikasi hukum. Akan tetapi, menjadikannya sebagai kritik sosial, biro perubahan sosial, penggerak perubahan dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Dengan begitu, Fiqih Sosial lebih peka terhadap masalah-masalah sosial dan lebih ramah budaya dan peradaban. Selain itu, ada prosedur lain dari Fiqih Sosial. Yaitu, menverifikasi kembali mana persoalan-persoalan agama yang pokok dan mana yang cabang. Itu dilakukan dengan metode Maqâshid al-Syarî’ah. dari dua prosedur itu saja bisa terlihat bahwa Fiqih Sosial, meskipun istilahnya dari Indonesia, akan tetapi spirit dan mekanismenya itu universal.
            Fiqh sosial merupakan sebuah ikhtiar aktualisasi fiqh klasik melalui upaya aktualisasi keseluruhan nilai yang ada didalamnya untuk dioptimalkan pelaksanaan dan diserasikan dengan tuntunan makna sosial yang terus berkembang. Tujuan pokok fiqh sosial ialah membentuk satu konsep fiqh yang berdimensi sosial, atau fiqh yang dibangun dengan sejumlah peranan individu atau kelompok dalam proses bermasyarakat dan bernegara. Secara khusus bisa dikatakan bahwa pemikiran fiqh sosial ini berangkat dari realitas perilaku keberagaman masyarakat tradisional, yang secara hirarkis mempertahankan contoh bermadzhab secara utuh (qauli dan manhaji) dan benar (dimanifestasikan dalam seluruh sendi kehidupan).
            Fiqh sosial mempunyai lima ciri pokok yang menonjol: Pertama, Interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; Kedua, Perubahan contoh bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga, Verifikasi fundamental mana anutan yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu‘); Keempat, fiqh dihadir kan sebagai etika sosial, bukan aturan positif negara dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam kasus budaya dan sosial.[5] Jika dicermati lebih jauh, kelima ciri di atas memang didasarkan ganjal keyakinan bahwa rumusan produk aturan yang tertuang dalam banyak sekali kitab fiqh banyak yang sanggup diterapkan (applicable) untuk memecahkan masalah-masalah sosial kontemporer. Pengembangan fiqh sosial tidak serta merta menghilangkan tugas khazanah klasik. Dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan fiqh sosial diperlukan tidak tercerabut dari akar tradisi orthodoxy. Persoalannya kini bagaimanakah khazanah klasik itu disikapi. Untuk tujuan ini maka prinsip “almuhafadhatu ‘ala al-qodim al-salih wa al-akhdzu bil jadid al-aslah” akan selalu menjadi panduan.

 2)      Paradigma Fiqh Sosial
Paradigma, paradigma oleh Thomas Khun diartikan sebagai cara pandang yang mempunyai makna transedensi, namun paradigma kini menjadi kata yang bermakna awam dan telah dipakai sebagian masyarakat dengan makna atau arti yang berbeda. Paradigma yang dimaksud ialah cara pandang dalam melihat perubahan sosial di kurun postmodernisme dari sisi fiqh (hukum Islam).[6] Saat ini, duduk kasus terbesar ummat insan ialah munculnya banyak sekali duduk kasus sosial kemasyarakatan dan banyak sekali duduk kasus lainnya yang menyelimuti kehidupan insan itu sendiri.
            Dalam rangka mengantisipasi perkembangan sosial yang demikian pesat ketika ini, perangkat-perangkat aturan yang telah ada disamping al-Qur’an dan as-Sunnah, para fuqoha dan pemimpin Islam diperlukan tanggap serta ditantang untuk melaksanakan ijtihad guna menuntaskan masalah-masalah aturan (masail fiqhiyah) yang lahir akhir perubahan atau perkembangan sosial masyarakat Islam yang ada.
            Dan, secara paradigmatik persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat yang mengakibatkan duduk kasus aturan (masail fiqhiyah) harus disikapi secara kritis dan dipahami seditail mungkin, hingga ijtihad atau kebijakan yang diambil oleh para fuqoha dan pemimpin Islam lainnya sanggup memberikan ketenangan dan ketentraman kepada ummat.
            Pada prinsipnya tujuan syari’ at Islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama dalam anutan fiqh ialah penataan hal ihwal insan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. Syari’at Islam mengatur korelasi antara insan dengan Allah yang dalam fiqh menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun mut{hloqah (teknik operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). la juga mengatur korelasi antara sesama insan dalam bentuk mu’asyarah (pergaulan) maupun mu’amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Disamping itu ia juga mengatur korelasi dan tata cara keluarga, yang dirumuskan dalam komponen munakahat. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad dan qadla.
            Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum. Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih ialah kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu daerah tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyat atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, nalar pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajiyat (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi tahsiniyyah atau embel-embel (suplementer).[7]
            Secara singkat sanggup dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan insan yaitu kebutuhan dlaruriyat (primer), kebutuhan hajiyat (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap tragedi dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.
 3)      Tokoh Fiqh Sosial Dan Pemikirannya
            Seperti yang telah dipaparkan pada keterangan sebelumnya. Diantara tokoh-tokoh pelopor fiqh sosial diantaranya ialah KH. Sahal Mahfudh dan KH. ‘Ali Yafie.
            Kiai Sahal Mahfudh merupakan sosok kiai yang sangat kharismatik di belantara Nusantara. repotasinya bisa disejajarkan dengan Gus Dur (almarhum) baik contoh pemikiran dan kegigihannya dalam memperjuangkan agama Islam. Begitu juga dia sering mengisi ceramah keagamaan di banyak sekali tempat, diskusi dan yang lebih menarik dia juga produktif dalam menulis. Yang menciptakan namanya semakin tersohor, dengan perjuangannya melahirkan konsep gres di bidang fiqih. Beliau mempunyai harapan berpengaruh untuk memposisikan fiqih bisa menjawab segala tantangan zaman, sehingga lahirlah pemikiran dia yang terkenal dengan  sebutan fiqih sosial.
            Pondasi berpengaruh yang melatar belakangi timbulnya terobosan gres yang progesif di bidang fiqih ini, tak lepas dari harapan dia untuk menerangkan bahwa, fiqih tidak hanya berkaitan dengan ibadah mahdhah an sich (relasi vertikal), namun juga bisa mengeluarkan insan dari jurang kejumudan, keterbelakangan, balasannya menemukan konsep gres yang berjulukan ”fiqih sosial”, yakni fiqih yang berhubungan, berkaitan, dan berkelin-kelindan dengan problematika sosial yang mencakup pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi, keilmuan, budaya, dan politik.[8]
            Pada level ini kiai sahal berupaya mengentaskan kemiskinan dengan mendoktrin masyarakat dengan paradigma yang berbeda. Beliau bisa melaksanakan pergeseran pengertian miskin, sesudah usahanya baik melalui ceramah, diskusi dan tulisan. Dengan segala upayanya menyadarkan masyarakat, dia tidak henti-hentinya memberikan bahwa, hidup miskin harus dilawan dan harus di hilangkan, tiada lain dengan upaya keras, terencana, dan terorganisir, tidak mengalah tampa ada upaya mengubahnya. Kondisi miskin ialah kondisi yang tidak ideal, dan juga tidak dianjurkan oleh agama, landasannya ialah hadis Nabi ”kefakiran mendekatkan diri pada kekufuran” (HR. Abu Naim dari Anas). Dalam upaya kiai Sahal mengentaskan kemiskinan, dalam ranah praksisnya, pada Tahun 1977 Sahal mengikutkan santrinya, untuk mengikuti latihan tenaga pengembangan masyarakat yang di selenggarakan oleh LP3ES Jakarta, bekerja sama dengan Departemen Agama RI, selama satu tahun. Selama satu tahun itu diajari bagaimana membuatkan potensi rakyat terutama di sektor pertanian.
            Dari banyak sekali konsep yang ditawarkan kiai Sahal, perlu kiranya untuk membaca kembali banyak sekali konsepnya yang cukup mencerahkan dan penuh argumen, sebagai masukan untuk mebawa pada perubahan yang nyata, dengan tidak gampang mendapatkan dengan kondisi yang kurang edial, biar kemiskinan yang menjadi salah satu faktor kekufuran tidak terus kita nikmati selamanya.
            K.H. Ali Yafie dilahirkan di Wani-Donggala, Sulawesi Tengah, barangkali turut mengalirkan sifat pribadinya yang berkemauan keras, tekun, dan paantang menyerah. Beliau ialah sosok tokoh yang bentuk dan struktur dasar intelektualitasnya dirakit dipesantren.[9]
            Begitu banyak kiprah dia dalam bidang kemasyarakatan, dar tingkat local (pengajar diberbagai madrasah), regional (dosen dan hakim pada Pengadilan Tinggi Agama di Makasar, Inspektur Pengadilan Agama Indonesia Wilayah Timur, Staf harian dan anggota Dewan Pleno Badan Potensi Karya Kodam XIV Hasanudin) hingga tingkat nasional dengan duduk atau pernah menduduki jabatan penting (Ketua Dewan Penasehat ICMI, anggota Dewan Pengawas Syari’ah Bank Muamalat Indonesia, wakil ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur’an, Guru Besar Dirasah Islamiyah Universitas As-Syafi’iyah).
            Melalui banyak sekali uraian, K.H. Ali Yafie telah memandu kita menjelajah belantara keagamaan dan sosial kemasyarakatan dalam spektrum yang cukup luas. Salah satu karyanya ialah Menggagas Fiqih Sosial dimana karya ini merupakan suntingan, kumpulan dari 26 artikel yang masing-masing merupakan wangsit utuh, lepas, berdiri sendiri, dan disampaikan pada banyak sekali kesempatan yang berbeda. Berkat teknik suntingan yang canggih, semua artikel terangkum menjadi jalinan kesatuan karya penting yang setiap unsurnya saling menopang dibawah tema sentral yang menarik hati : Menggagas Fiqih Sosial.

Karya ini seirama dengan membumikan Al-Qur’an karya Prof. Dr. Quraish Shihab. Dengan orisinalitasnya masing-masing, keduanya dimulai dengan pembahasan perihal Al-Qur’an kemudian merambah kepada masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang actual ketika ini. Dimana keduanya memberikan tekanan antara lain pada perlunya pemahaman Al-Qur’an secara utuh. Salah satu cara untuk memperoleh pemahaman Al-Qur’an secara utuh ialah dengan mendorong penafsiran secara tematis. Dengan menekankan pada atau mengajukan tema-tema tertentu. Dengan kemampuan menentukan ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan dan dengan tunjangan Sunnah yang merupakan klarifikasi paling otentik terhadap isis dan kandungan Al-Qur’an, berdasarkan K.H. Ali Yafie, kita bisa menjadikannya pedoman yang benar-benar fungsional bagi insan untuk hidup di dunia, terlebih di akhirat.








BAB III
KESIMPULAN
Keberadaan Fiqh Sosial memang belum terdefinisikan secara jelas. Pemakaian istilah fiqh soaial (al-fiqh al-ijtima’i) secara bahasa akan menjadi sempurna apabila disandingkan dengan term lain, yakni fiqh ndividu (al-fiqh al-infiradhi). Kedua istilah ini relative belum dikenla dalam discourse fiqh klasik,[10] walaupun tidak sanggup dipungkiri bahwa penjabaran – penjabaran fiqh yang dibangun selama ini tetap mengapresiasikan dua sisi tersebut.
            Dengan pendekatan bahasa ini fiqh sosial sanggup dipahami sebagai fiqh yang berdimensi sosial atau fiqh yang dibangun atas dasar korelasi antarindividu atau kelompok didalam masyarakat.
            Paradigma fiqh sosial di dasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan insan yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap tragedi dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.
Diantara tokoh fiqih sosial ialah K.H. Sahal Mahfudz dengan pemikirannya dalam pengentasan kemiskinan serta tokoh K.H. Ali Yafie dengan menggagas fiqih sosialnya.








DAFTAR PUSTAKA
Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara Yogyakarta. 2005
http://hukum.kompasiana.com/2011/06/25/paradigma-baru-fiqih-sosial-di-abad-postmodernisme/
http://numesir.com/index.php?option=com_content&view=article&id=117:dialog-umum-tentang-fiqih-sosial&catid=13:informasi
http://www.nu.or.id
http://www.nupakistan.or.id
Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKis Yogyakarta. 1994.
Rahman, Jamal D. Wacana Baru Fiqih Sosial 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: MIZAN. 1997



[1] Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial  (Yogyakarta: LKis Yogyakarta. 1994), 4.
[3] Klasifikasi fiqh klasik biasanya mencakup bidang ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayah atau qada
[4] Mahsun fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara Yogyakarta. 2005), 108-109.
[5]  http://www.nupakistan.or.id susukan pada hari kamis 13 Sep 2017 pukul 01.13 WIB.
[7]  http://www.nu.or.id susukan pda hari kamis 13 sep 2017, 02.39 WIB.
[9] Jamal D.Rahman, Wacana Baru Fiqih Sosial 70 Tahun K.H. Ali Yafie (Bandung: MIZAN. 1997), 78-81.
[10] Klasifikasi fiqh klasik biasanya mencakup bidang ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayah atau qada’.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Dan Klarifikasi Makalah Fiqh Sosial"

Post a Comment