Contoh Teori Dan Informasi Ekonomi Politik Pembangunan

( 22 halaman )




BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat UUD 1945. Program-program
pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu menawarkan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan lantaran pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, kasus kemiskinan hingga ketika ini terus-menerus menjadi kasus yang berkepanjangan,terutama di daerah Bekasi.
Kemiskinan yakni keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai menyerupai masakan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berafiliasi erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya kanal terhadap pendidikan dan pekerjaan yang bisa mengatasi kasus kemiskinan dan mendapat kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan kasus global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya dipakai untuk merujuk kepada negara-negara yang miskin
Indonesia selalu di hadapkan pada kasus yang secara birokrasi,baik dalam internal maupun eksternal karna pada sistem kebijakan publik sangat memilih nasip rakyat dan bangsa indonesia umum nya.
dan ini semua tidak lepas dari perilaku para pejabat yang hanya mementingkan partainya dan komonitas nya sehingga rakyatlah yang kena imbasnya dalam permainan politik,pejabat yang semestinya melayani masyarakat ternyata berbalik kaprah yang justru ia yang di layani oleh masyarakat,kesalahan tehnis dalam menerapkan kebijakan publik sangat bepengaruh kepada kemajuan dalam pembangunan dan kesejeteraan rakyat.
Sehingga ketimpangan sosial tidak bisa lagi di elakan oleh paktor  kesalah tehknis dalam menerapkan kebijakan yang di lakukan oleh pejabat yang mulia, pengangguran semakin memperparah wajah negara indonesia sehingga rakyat banyak yang tidak bisa mengerjar dan banngkit dalam dunia perekonomian sehingga kemajuan dalam bidang IMTEK,.




BAB II
MASALAH KETIMPANGAN

Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia secara makro dipengaruhi oleh adanya kesenjangan dalam alokasi sumber daya; sumberdaya manusia,, fisik, teknologi dan capital. Setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda didalam menghadapi gosip ketimpangan pembangunan. Indonesia cuilan barat menjadi primadona pembangunan ekonomi Indonesia semenjak pemerintahan orde gres dimulai, terlebih sebelum kurun desentralisasi diterapkan di Indonesia. Sementara sebaliknya, untuk wilayah Indonesia Timur, banyak mengalami ketertinggalan diberbagai sector pembangunan.
Salah satu dampak sosial yang terjadi akhir kesenjangan atau ketimpangan pembangunan ekonomi dalah adanya kemiskinan diberbagai sektor. Kemiskinan menjadi problem kolektif bangsa Indonesia. Berbagai acara dan seni administrasi mengentaskan kemiskinan juga telah banyak dilakukan oleh pemerintah; mulai dari penguatan kualitas sumberdaya manusia, pembukaan lapangan pekerjaan, eksplorasi sumberdaya alam dan penyediaan acara padat karya. Tulisan ini secara global akan memotret dua problem besar yang melanda dan menjadi problem bersama semua daerah.
Dalam sebuah negara niscaya tidak akan terlepas dari aktivitas-aktivitas perekonomian. Aktivitas perekonomian ini terjadi dalam setiap bentuk acara kehidupan dan terjadi pada semua kalangan masyarakat, baik masyarakat menengah ke bawah maupun pada masyarakat kalangan atas. Dalam pelaksanaannya, perekonomian selalu menyebabkan permasalahan. Terlebih lagi dalam pelaksanaannya di sebuah negara yang sedang berkembang. Begitu juga dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Permasalahan perekonomian yang dihadapi bangsa ini sangat kompleks lantaran letak antara pulau satu dengan pulau yang lainnya sangat berjauhan.
Permasalahan ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia yang tetap terjadi hingga ketika ini yakni terjadinya ketimpangan pembangunan perekonomian.. Oleh lantaran itu, untuk mengatasi kasus perekonomian pemerintah harus menuntaskan permasalahan akarnya yaitu ketimpangan pembangunan dan perekonomian yang terjadi di wilayah Indonesia. Apabila permasalahan inti ini sudah terselesaikan atau paling tidak pembangunan perekonomian di Indonesia mulai terjadi pemerataan, maka permasalahan perekonomian lain yang timbul sebagai akhir dari ketimpangan pembangunan perekonomian akan terpecahkan satu per satu dari kasus yang terkecil.
Setiap pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, setidaknya akan medapatkan apa yang namanya prestasi pembangunan, untuk mengetahui Prestasi pembangunan suatu negara atau daerah kita sanggup menilainya dengan banyak sekali macam cara dan tolak ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan non ekonomi. Penilaian dengan pendekatan ekonomi sanggup dilakukan menurut tinjauan aspek pendapatan maupun aspek non pendapatan. Tolak ukur pendapatan perkapita, sebagaimana kita sadari belum cukup untuk menilain prestasi pembangunan. Karena gres merupakan konsep rata-rata, pendapatan perkapita tidak mencerminkan bagaimana pendapatan suatu daerah terbagi dikalangan penduduknya, sehingga unsur kemerataan atau keadilan tidak terpantau. Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu daerah dikalangan penduduknya
Dalam kontek untuk mengukur dan menilai kemerataan (parah atau lunaknya ketimpangan) distribusi pendapatan, kita sanggup melihatnya berdasarkan, pertama Kurva Lorenz dan Indek atau Rasio Gini. Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan dikalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif pula. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur kandang yang sisi tegaknya melambangkan presentase kumulatif pendapatan. Sedangkan sisi datarnya mewakili presentase kumulatif penduduk. Kurva Lorenz yang semakin akrab ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan yang semakin merata. Sebaliknya, jikalau Kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distibusi pendapatan semakin timpang dan tidak merata.
Sementara pada pendekatan Indek atau Rasio Gini, yakni suatu koefisien yang berkisar dari angka 0 hingga 1, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan. Semakin kecil (semakin mendekati nol) koefisiennya, menerangkan semakin baik atau merata distribusi. Dilain pihak, koefisien yang semakin besar (semakin mendakati 1) mengisyaratkan distribusi yang kian timpang atau senjang.
2.1 Permasalahan Dasar ketimpangan
Sebab Ketimpangan
Menurut Sarjono HW (2006) pada kontek mikro, yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah pada umumnya, penyebabnya antara lain:
1.      Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.
2.      Belum adanya perilaku profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan daerah di daerah.
3.      Belum optimalnya pinjaman kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan pelaku swasta.
4.      Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan perjuangan yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.
5.       Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama,diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, forum non pemerintah, dan petani, serta antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan daya saing daerah dan produk unggulan.
6.       Masih terbatasnya kanal petani dan pelaku perjuangan kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, pinjaman teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya pengembangan peluang perjuangan dan kerjasama investasi.
7.       Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi di daerah dalam mendukung pengembangan daerah dan produk unggulan daerah.
8.       Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung peningkatan daya saing daerah dan produk unggulan
Sementara pada aspek makro, Dumairy (1996), menyatakan bahwa terdapat ada dua faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya sanggup terjadi. Faktor pertama ialah lantaran ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua lantaran seni administrasi pembangunan yang tidak tepat_cenderung berorientasi pada pertumbuhan, (growth).
Ketidaksetaraan anugerah awal yang dimaksud yakni adanya kesenjangan antara bekal “resources” yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi. Yang meliputi, sumberdaya alam, kapital, keahlian/keterampilan, bakat/potensi atau sarana dan prasarana. Sedangkan pelaku ekonomi yakni perorangan, sektor ekonomi, sektor wilayah/daerah/kawasan). Sumberdaya alam yang dimiliki tidak sama antar daerah, (pra)sarana ekonomi yang tersedia tidak sama antar daerah, begitu pula yang lain-lainnya menyerupai kapital, keahlian/keterampilan serta bakan atau potensi.
Kalau kita lihat secara objektif, ketimpangan pembangunan, yang selama ini berlangsung dan berwujud khsususnya pada Negara berkembang yakni dalam banyak sekali bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja ketimpangan hasil-hasilnya, contohnya dalam hal pendapatan perkapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional. Ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional misalnya, sanggup dilihat menurut perbedaan mencolok dalam aspek-aspek menyerupai perembesan tenaga kerja; alokasi dana perbankan; investasi dan pertumbuhan.
Secara makro ketimpangan pembangunan yang terjadi di diberbagai daerah, tentunya lantaran lebih disebabkan oleh aspek seni administrasi pembangunan yang kurang tepat. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan misalnya, ternyata tidak bisa mengatasi persoala-persoalan yang terjadi di daerah, malah sebaliknya hanya memperkaya pelaku-pelaku ekonomi tertentu yang akrab dan simpel mendapat kanal pembangunan secara gratis.
Oleh lantaran itu, untuk sanggup menghasilkan pembangunan ekonomi yang sebenar-benarnya sanggup dirasakan oleh semua masyarakat, harus ada keberanian dari pemerintah daerah untuk mengubah cara pandang dan seni administrasi pembangunan ekonominya kearah yang lebih sehat dan kompetitif. Kue-kue pembangunan harus sanggup dinikmati dan dirasakan oleh semua masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, jangan hingga masakan ringan manis pembangunan hanya milik segelintir kelompok atau golongan tertentu saja yang akrab dengan kekuasan dan simpel mendapat kanal pembangunan secara gratis.



BAB II
MASALAH KEMISKINAN

Masalah kemiskinan bukanlah kasus yang baru. Sejak bangsa Indonesia merdeka, menjadi harapan bangsa yakni mensejahterakan seluruh rakyat Karena kenyataan yang dihadapi yakni kemiskinan yang masih diderita oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Hampir setiap pemimpin di Indonesia, selalu menghadapi kenyataan ini, meskipun bentuk kemiskinan yang terjadi tidak sama di setiap kurun suatu pemerintahan.
Kemiskinan yakni problem sosial. Bagi kebanyakan orang, kemiskinan merupakan kasus yang cukup merisaukan. Ia dianggap sebagai penyakit sosial yang paling dahsyat dan menjadi musuh utama negara (Hairi Abdullah 1984:16). Kemiskinan bukan saja dilihat sebagai fenomena ekonomi semata-mata, tetapi juga sebagai kasus sosial dan politik (Syed Othman Alhabshi 1996). Karena dirasakan dahsyatnya ancaman kemiskinan, membasmi kemiskinan dianggap sebagai jihad (Anwar Ibrahim 1983/1984:25). Secara umum, kemiskinan mempunyai empat dimensi pokok, yaitu; kurangnya kesempatan (lack of opportunity); rendahnya kemampuan (low of capabilities); kurangnya jaminan (low-level of security); dan ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment). Dan lazimnya kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan (poverty line). Kemiskinan tidak saja menjadikan penyakit busung lapar (gizi buruk), atau juga penyakit sosial, menyerupai Penjaja Sex Komersial (PSK), gembel (pengemis) dan lain sebagainya, kemiskinan juga menjadikan turunnya harga diri individu atau kelompok masyarakat.
Secara psikologis orang miskin cenderung lebih sensitif, simpel tersinggung, kurang percaya diri bahkan simpel emosi, sehingga kondisi ini rawan dengan banyak sekali upaya pemanfaat pihak ketiga yang menggunakannya sebagai kendaraa/alat untuk memancing kerusuhan di sebuah daerah, pada dasarnya kemiskinan mempunyai keterkaitan cukup erat dengan stabilitas politik dan ekonomi sebuah daerah.Karena merupakan kasus pembangunan yang multidimensi, maka pemecahan kemiskinan harus melalui strategis yang komperhensif, terpadu, terarah dan berkesinambungan.

Konsep Kemiskinan
Dari banyak sekali literatur yang mengupas perihal konsep kemiskinan, paling tidak ada dua macam konsep kemiskinan yang sanggup kita terima sebagai rujukan, yaitu; kemiskinan adikara dan kemiskinan relatif. Konsep pertama kemiskinan adikara dirumuskan dengan menciptakan ukuran tertentu yang kongkrit (a fixed yardstick). Ukuran itu lazimnya berorientasi kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat (sandang, pangan dan papan).
Masing-masing negara terlihat mempunyai batasan kemiskinan adikara yang berbeda-beda, lantaran kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai pola memang berlainan. Karena ukurannya dipastikan, maka konsep kemiskinan semacam itu mengenal garis batas kemiskinan. Kemiskiinan adikara juga sanggup dilihat dari sejauhmana tingkat pendapatan penduduk miskin tersebut bisa mencukupi kebutuhan pokoknya (basic needs), yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemampuan untuk membeli kebutuhan pokok ini dieuivalenkan dengan daya belinya (nilai uang). Mereka yang tidak bisa membeli kebutuhan pokok tertentu sesuai standar minimal dianggap berada pada posisi dibawah garis kemiskinan. Konsep yang kedua kemiskinan relatif dirumuskan menurut the idea of relative standart, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu.
Dasar asumsinya yakni kemiskinan pada suatu daerah tertentu berbeda dengan pada daerah tertentu lainnya, dan kemiskinan pada waktu (saat) tertentu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan relatif lazimnya diukur menurut pertimbangan in term of judgment anggota masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. kemiskinan relatif dilihat menurut persentase pendapatan yang diterima oleh pendapatan lapisan bawah. Mereka yang berada pada lapisan bawah dalam stratifikasi pendapatan nasional inilah yang dianggap miskin. (Edi Suandy Hamid 2000:14)
Stigma Kemiskinan
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati kasus kemiskinan, yaitu; kemiskinan dalam perspektif kultural (the cultural perspective) dan kemiskinan dalam perspektif struktural atau situasional (the situasional perspective). Masing-masing perspektif tersebut mempunyai tekanan, pola dan metodologi tersendiri yang berbeda dalam menganlisa kasus kemiskinan. Perspektif kultural mendekati kasus kemiskinan pada tiga level analisis; individual, keluarga dan masyarakat. Pada level individual ditandai sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality, seperti; perilaku parochial, perilaku apatisme, fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior.
Pada level keluarga ditandai oleh jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages. Kemudian pada level masyarakat, terutama ditandai oleh tidak terintegrasinya secera efektif dengan insitusi-institusi masyarakat. Mereka sering kali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap daripada sebagai subyek yang perlu diberi peluang berkembang.
Kemudian perspektif struktural/situasional kasus kemiskinan sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantahkan dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil-hasil pembangunan (development).
Program-program tersebut antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional dan eksport. Edi Suandy Hamid (2000:19) menyampaikan bahwa kasus kemiskinan yang terjadi ketika ini tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya jumlah pengangguran. Pada masa krisis ekonomi ini, bukan saja laju pertambahan angkatan kerja gres tidak bisa diserap oleh pasar kerja, melainkan juga terjadi pemutusan kekerabatan kerja disektor formal yang berakibat bertambahnya angkatan kerja yang menganggur, baik itu yang menganggur penuh atau sama sekali tidak bekerja (open unemployment) maupun setengah menganggur atau bekerja dibawah jam kerja normal (under un employment).



 BERSAMBUNG





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Teori Dan Informasi Ekonomi Politik Pembangunan"

Post a Comment