Contoh Makalah Sosiologi Kekerasan Terhadap Perempuan

Ada 15 Halaman



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, lantaran atas limpahan karuniaNya, penyusun sanggup menuntaskan makalah Sosiologi yang berjudul “Kekerasan Terhadap Perempuan” dengan tepat waktu tanpa halangan suatu apapun. Diharapkan makalah ini sanggup memperlihatkan wawasan kepada pembaca perihal bagaimana kehidupan dunia prostitusi di Indonesia ketika ini.
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada:
1.      Tuhan Yang Maha Esa
2.      ............................., selaku dosen pengampu mata kuliah Sosiologi.
3.      Pihak lain yang telah mendukung sehingga terselesaikannya makalah ini.
            Bagaimanapun penyusun telah berusaha menciptakan makalah ini dengan sebaik-baiknya, namun tidak ada kesempurnaan dalam karya manusia. Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh lantaran itu, kritik dan saran sangat penyusun harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
            Mudah-mudahan sedikit yang penyusun sumbangkan ini, akan dicatat oleh Allah SWT dan akan menjadi ilmu yang bermanfaat.




BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Makalah ini mengambil topik perihal kekerasan pada perempuan yang akhir-akhir ini semakin marak kasusnya baik di dalam maupun luar negeri. Perbincangan perihal kekerasan pada perempuan telah berkembang yang tidak hanya menjadi suatu pertukaran argumen belaka namun menjadi suatu gerakan sosial permulaan. Penelitian kriminalitas yang dilakukan di Inggris dan Wales pada tahun 1985 (Hough and Mayhew, 1985) yang melibatkan responden perempuan menghasilkan bahwa hampir setengah dari mereka menyatakan merasa tidak kondusif apabila berjalan sendiri di kegelapan dibandingkan dengan responden laki – laki yang tidak mencapai setengahnya dengan masalah yang sama. Penelitian ini mengambarkan bahwa perempuan masih dijadikan target utama untuk tindak kejahatan.
Berdasarkan fakta – fakta yang ada, terbukti bahwa masalah kekerasan pada perempuan belum menjadi info sentral oleh masyarakat untuk dicegah dan ditanggulangi. Ada beberapa lantaran berkaitan dengan hal ini yaitu pertama, masalah hak asasi insan masih dianggap hanya sebagai masalah ocial sehingga kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan di ocial ocialc tidak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, kedua, persepsi masyarakat, tidak terkecuali masyarakat perempuan sendiri, perihal kekerasan terhadap perempuan masih terbatas pada kekerasan fisik (perkosaan), ketiga, kekerasan terhadap perempuan masih dilihat sebagai masalah antar individu, dan belum dipandang sebagai problem ocial yang berkaitan dengan segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman dan pengabaian hak-hak perempuan sebagai makhluk Tuhan, keempat, ada tanda-tanda sinisme yang berbahaya pada sebagian masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan dilihat sebagai lantaran yang dimunculkan oleh perempuan itu sendiri.

                                                                 
1.2              Permasalahan
Makalah ini akan mengambil satu permasalahan utama dalam topik ini yakni jenis – jenis kriminalitas apakah yang dialami oleh perempuan dalam kehidupannya. Di sini akan dijelaskan dan dijabarkan jenis – jenis kriminalitas tersebut serta pandangan tubuh aturan maupun masyarakat awam akan hal ini. Masalah ini pun akan dikaitkan dengan studi jender dan budaya masyarakat perihal tugas perempuan sebagai “orang kedua” dibandingkan laki – laki.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Perempuan Sebagai Korban
   Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena universal, terjadi pada semua lapisan masyarakat, tidak membedakan kelas sosial dan bersifat lintas budaya. Kekerasan pada perempuan sanggup diartikan sebagai tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga sanggup merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara psikis (Ihromi, 2000 : 267). Terdapat empat kategori dalam kekerasan terhadap perempuan yaitu (Tong, 1984 : 125 – 126) :
a)      Physical battering
Termasuk dalam kategori ini yaitu penamparan, pemukulan, pembakaran, penendangan, penembakan, penusukan, dan semua bentuk kekerasan fisik non seksual.
b)      Sexual battering
Yang termasuk dalam kategori kedua yaitu semua kekerasan yang berkaitan dengan seksualitas menyerupai pemukulan di payudara atau kelamin, dan perkosaan secara oral, anal, dan vaginal.
c)      Psychological battering
Kategori yang ketiga ini selalu dianggap paling minimal dampaknya namun kenyataannya justru yang paling menyakiti korban. Banyak perempuan yang mengalami kekerasan melaporkan bahwa psychological battering merupakan kekerasan yang paling merusak keadaan jiwa mereka.
d)     The destruction pets and property
Kategori yang terakhir ini merupakan kategori yang tidak lazim dilakukan oleh para pelaku kekerasan, baik dalam segi sandang, papan, maupun properti lain milik korban.

Secara umum terdapat dua jenis kekerasan yang paling sering dialami oleh para perempuan yaitu :
a)      Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Masalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dipengaruhi

banyak faktor, bersifat kompleks, dan multidimensi. Merupakan komplikasi dari faktor internal, menyerupai kegagalan korelasi interpersonal, disfungsi marital, personal psikopatologi. Selain itu, faktor eksternal, khususnya struktrur sosial budaya yang meminggirkan tugas dan kedudukan perempuan.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan domestik yaitu segala bentuk sikap kekerasan yang terjadi dalam lingkup kehidupan keluarga. Pelaku biasanya yaitu sosok yang mempunyai tugas otoritas atau berstatus lebih berpengaruh (suami atau orang tua), sedangkan korban yaitu anggota keluarga yang berstatus subordinat atau lebih lemah (istri atau anak). Kekerasan dalam rumah tangga sering kali bersembunyidu balik tatanan budaya paternalistik patriarki, yang menempatkan suami sebagai sebagai kepala keluarga wajib dipatuhi. Istri sebagai ibu rumah tangga yang wajib melayani. Selain itu, anak yang harus tunduk dan patuh kepada orang tua.
Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan yaitu (Belknap, 1996 : 195) :
·         Battered women syndrome
Merupakan sindroma psikologik yang ditemukan pada perempuan hidup dalam siklus KDRT yang berkepanjangan. Dicirikan dengan sikap tak berdaya, menyalahkan diri, ketakutan akan keselamatan diri dan anaknya, serta ketidakberdayaan untuk menghindar dari pelaku kekerasan.

·         Gangguan stres pascatrauma
Merupakan problem mental serius yang terjadi pada korban yang mengalami penganiayaan luar biasa (perkosaan, penyiksaan, dan ancaman pembunuhan). Ciri khas dari stres pascatrauma (PTSD) yaitu penderita tampak selalu tegang dan ketakutan, menghindari situasi – situasi tertentu, gelisah, tidak bisa diam, takut tidur, takut sendirian, serta mimpi buruk, menyerupai mengalami kembali insiden traumatisnya.

·         Depresi
Merupakan problem kejiwaan yang paling sering ditemukan pada korban KDRT. Gejala yang khas yaitu perasaan murung, kehilangan gairah hidup, putus asa, perasaan bersalah dan berdosa, serta pikiran bunuh diri hingga perjuangan bunuh diri. Gejala depresi sering terselubung dalam wujud keluhan fisik, menyerupai kelelahan kronis, problem seksual, kehilangan nafsu makan (atau sebaliknya), dan gangguan tidur.

·         Gangguan panik
Merupakan gangguan cemas akut yang sering dijumpai korban KDRT. Penderita mengalami serangan ketakutan katastrofik bahwa dirinya akan mati atau menjadi gila (biasanya didahului keluhan subjektif, menyerupai sesak napas, perasaan tercekik, berdebar – debar, atau perasaan durealisasi). Ganguan panik yang tidak ditangani dengan benar akan menjelma agorafobia, yakni takut keramaian dan cenderung menghindar dari kehidupan sosial.

·         Keluhan psikosomatis
Perempuan korban KDRT sering kali tiba ke kemudahan kesehatan dengan keluhan fisik kronis, menyerupai sakit kepala, gangguan pencernaan, sesak napas, dan jantung berdebar. Namun, pada investigasi medis tidak ditemukan penyakit fisik. Kondisi ini disebut sebagai gangguan psikosomatis. Keluhan psikosomatis bukan gangguan buatan atau sekadar upaya mencari perhatian. Namun, merupakan penderitaan yang sungguh dirasakan penderita, yakni konversi dari problem psikis yang tak bisa diungkapkan.

b)      Perkosaan
Perkosaan yaitu korelasi seksual yang dilakukan tanpa kehendak


bersama, dipaksakan oleh satu pihak pada pihak yang lainnya.
Korban sanggup berada di bawah ancaman fisik dan atau psikologis, kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, berada di bawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental sehingga tidak sunguh – sungguh mengerti, atau sanggup bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya” (Ihromi, 2000 : 278).

Sekitar tahun 1970, perkosaan alhasil diakui sebagai salah satu masalah sosial yang memfokuskan dirinya pada perkosaan orang remaja oleh orang asing. Terdapat dua jenis perkosaan yakni stranger rapes dimana korban dan pelaku tidak mempunyai kekerabatan dan acquaintance rapes ketika pemaksaan acara seksual dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban (Belknap, 1996 : 141).
Selama perkembangannya, perkosaan dilengkapi dengan beberapa mitos yang diyakini oleh masyarakat. Mitos – mitos tersebut yaitu (Ihromi, 2000 : 278) :
a.       Korban mem”provokasi” pelaku dengan tindakan – tindakan yang mengundang;
b.      Perempuan sanggup menghindari terjadinya perkosaan;
c.       Perempuan mengaku diperkosa untuk membalas dendam, menerima santunan, atau lantaran ia punya karakteristik kepribadian khusus (misal : ingin cari perhatian);
d.      Perkosaan hanya terjadi di kawasan abnormal slum pada malam hari;
e.       Perkosaan dilakukan oleh laki – laki yang “sakit” atau kriminal;
f.       Laki – laki yang sopan sanggup terangsang untuk memperkosa lantaran provokasi tindakan atau pakaian yang dikenakan perempuan; dan
g.      Perkosaan terjadi lantaran pelaku tidak sanggup mengendalikan impuls – impuls seksualnya.
Mitos – mitos ini tidaklah benar sesudah data memperlihatkan bahwa mitos – mitos tersebut bertentangan dengan fakta – fakta yang ada.
Seorang korban perkosaan akan lebih menderita secara psikologis dibandingkan fisik.

Dari sisi fisik sanggup terjadi luka – luka di alat kelamin dan sekitarnya, anus, mulut, maupun serpihan – serpihan tubuh lain, pendarahan, infeksi, dan penularan penyakit seksual, kehamilan bahkan kematian. Sedangkan secara psikologis biasanya akan dimulai dengan beberapa reaksi sesudah insiden perkosaan atau serangan seksual yaitu (Ihromi, 2000 : 279 – 280) :
a.       Fase akut (segera sesudah serangan terjadi)
Pada fase ini individu mengalami shock dan rasa takut yang sangat kuat, kebingungan, dan disorganisasi serta rasa lelah dan lemah yang intens. Karena itu, terdapat kemungkinan korban tidak sanggup menjelaskan secara rinci dan tepat apa yang bekerjsama terjadi pada dia, siapa penyerangnya, ciri – ciri penyerang secara detil dan seterusnya.

b.      Fase kedua (adaptasi awal)
Individu menghayati emosi negatif menyerupai pemberontakan, rasa murka ketakutan, terhina, rasa malu, dan jijik yang kemudian sanggup ditanggapi melalui represi dan pengingkaran (upaya untuk mencoba menutupi pengalaman menyakitkan, menolak mengingat lagi atau minimalisasi, menganggap yang terjadi bukan suatu hal yang sangat serius. Korban sanggup menampilkan ekspresi emosi yang sangat berpengaruh (menangis, eksplosif) atau tampil hening dan dingin, seolah – olah tanpa penghayatan.

c.       Fase reorganisasi jangka panjang
Fase ini sanggup membutuhkan waktu bertahun – tahun hingga individu keluar dari stress berat yang dialami dan sungguh – sungguh mendapatkan apa yang terjadi sebagai suatu yang faktual. Pada fase ini, individu tidak jarang masih menampilkan ciri – ciri depresi, serta mengalami mimpi – mimpi jelek atau kilas balik. Tidak jarang terjadi gangguan dalam fungsi dan acara seksual contohnya ketakutan pada seks, hilangnya gairah seksual, dan ketidakmampuan menikmati korelasi seks. Bahkan mengalami dysparenuia (merasakan sakit ketika bekerjasama seks) maupun vaginismus (kekejangan otot – otot vagina).


2.2       Beberapa Hal Pendorong Kriminalitas
Berikut ini merupakan hal - hal yang mendorong seseorang untuk melaksanakan tindakan kriminal :
a.       Diri Sendiri
Untuk terjadinya suatu pelanggaran diperlukan dua unsur utama yaitu niat untuk melaksanakan suatu pelanggaran dan kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut. Apabila hanya terdapat satu unsur saja dalam kedua unsur tersebut, maka pelanggaran tidaklah mungkin terjadi. Terdapat beberapa faktor – faktor baik eksklusif maupun tidak eksklusif yang sanggup mempengaruhi kedua unsur ini. Faktor – faktor ini yaitu :
·         Faktor – faktor eksklusif (faktor endogin)
Faktor - faktor endogin yaitu faktor – faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri yang mempengaruhi tingkah lakunya, yaitu :
a)      Cacat yang bersifat biologis dan psikis.
b)      Perkembangan kepribadian dan intelegensi yang terhambat sehingga tidak bisa menghayati norma – norma yang berlaku (Widiyanti, 1987 : 116).
Faktor – faktor endogin ini hanya mempengaruhi unsur niat.

·         Faktor – faktor tidak eksklusif (faktor eksogin)
Faktor - faktor eksogin yaitu faktor – faktor yang berasal dari luar diri seseorang yang mempengaruhi tingkah lakunya, yaitu :
a)      Pengaruh negatif dari orang tua;
b)      Pengaruh negatif dari lingkungan sekolah;
c)      Pengaruh negatif dari lingkungan masyarakat;
d)     Tidak ada/kurang pengawasan pemerintah;
e)      Tidak ada/kurang pengawasan masyarakat;
f)       Tidak/kurang pengisian waktu yang sehat;
g)      Tidak ada pekerjaan;
h)      Lingkungan fisik kota yang besar;
i)        Anonimitas lantaran banyaknya penduduk kota – kota besar (Widiyanti, 1987 : 117)
Faktor – faktor eksogin dari poin a hingga c mempengaruhi unsur niat, sedangkan poin d hingga k mempengaruhi unsur kesempatan.

b.      Keluarga
Keluarga merupakan faktor utama kedua yang mempengaruhi seseorang melaksanakan tindak kejahatan. Hubungan bersahabat yang terjalin antara orang bau tanah dengan anak semasa kecilnya hingga remaja menimbulkan keluarga memainkan peranan penting dalam pembentukan contoh – contoh tingkah laris seseorang.
Keluarga sanggup diartikan sebagai :
            “The family is a social group characterized by common residence, economic cooperation, and reproduction. It includes adults of whom maintain a socially approved, own or adopted to the sexually cohabiting adults” (Spiro, 1954 : 839).
Terdapat beberapa kondisi dalam keluarga yang menjadi faktor penyebab seseorang menjadi seorang kriminal yaitu :
a)      Anggota – anggota keluarga yang lainnya juga penjahat, pemabuk, dan imoral.
b)      Tidak adanya satu orang bau tanah atau kedua – duanya lantaran kematian, perceraian, atau melarikan diri.
c)      Kurangnya pengawasan orang tua, lantaran masa bodoh, cacat inderanya, atau sakit.
d)     Ketidakserasian lantaran adanya yang “main kuasa sendiri”, iri hati, cemburu, terlalu padatnya anggota keluarga, atau pihak lain yang turut campur.
e)      Perbedaan rasial dan agama, ataupun perbedaan sopan santun istiadat, rumah piatu, panti – panti asuhan.
f)       Tekanan ekonomi, menyerupai pengangguran, kurangnya penghasilan, ibu yang bekerja di luar (Martasaputra, 1973 : 271).


2.3       Kepedulian Hukum Terhadap Kekerasan Pada Perempuan
    Beragam kebijakan aturan telah dibentuk untuk menanggulangi masalah kekerasan pada perempuan. Terutama dari segi nasional, Indonesia, terdapat beberapa sumber aturan yang mempunyai sumber utama dari Konvensi Wanita yaitu :

a)      Hukum Perdata
Mencakup pembahasan mengenai diskriminasi yang mengacu pada pasal 1 dan pasal 2 Konvensi Wanita, kemudian pasal 5 mengenai hal – hal yang berkaitan dengan contoh tingkah laris sosial dan budaya laki-laki dan perempuan sebagai salah satu sumber terjadinya diskriminasi. Lalu pasal 16 mengenai pembatalan diskriminasi dalam semua unsur yang bekerjasama dengan perkawinan dan korelasi kekeluargaan atas dasar persamaan laki-laki dan wanita. Terakhir, pasal 15 mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan yang sama di muka hukum.

b)      Hukum Pidana
Dalam aturan pidana Indonesia meliputi sumber aturan pidana (Konvensi Wanita yang diratifikasi melalui UU No. 7/1984 dan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan). Bagian – serpihan dalam kitab undang-undang hukum pidana (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) mengacu pada Konvensi Wanita pasal 6 yaitu :
·         Delik kesusilaan (pemerkosaan, aborsi, perdagangan wanita);
·         Delik terhadap tubuh atau nyawa (termasuk kekerasan dalam keluarga);
·         Delik terhadap harta benda.
Satu delik terakhir yang berada di luar kitab undang-undang hukum pidana yakni subversi (Konvensi Wanita pasal 9, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pasal 3).

c)      Hukum Islam
keluarga dan Konvensi Wanita (penghapusan diskriminasi dalam bidang perkawinan dan korelasi kekeluargaan) serta mengenai diskriminasi (Konvensi Wanita pasal 1) dan contoh tingkah laris sosial budaya laki – laki dan perempuan (Konvensi Wanita pasal 5) sebagai salah satu sumber diskriminasi.

d)     Hukum Perburuhan
Mencakup pembahasan mengenai diskriminasi dan eksploitasi (Konvensi Wanita pasal 1), pembatalan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang ketenagakerjaan (Konvensi Wanita pasal 11), Konvensi ILO No. 100, info – info kekerasan terhadap buruh perempuan di pabrik maupun buruh imigran perempuan (Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pasal 1, 2) dan hak – hak sipil dan politk perempuan (Konvensi Wanita pasal 7).

Terdapat beberapa aturan lain di Indonesia yang isinya terdapat kaitan dengan kekerasan terhadap perempuan yaitu aturan tata negara, aturan manajemen negara, aturan internasional, aturan program pidana, aturan program perdata, aturan adat, aturan pajak, dan aturan agraria. Sumber aturan utama yang mendasari daripada semua aturan nasional perihal kekerasan pada perempuan yaitu Konvensi Wanita atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women yang dibentuk pada tahun 1979. Konvensi ini yaitu konvensi mengenai pembatalan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang diterima oleh negara – negara anggota PBB menurut suatu pertimbangan hukum, bahwa diskriminasi terhadap perempuan merupakan pelanggaran terhadap asas – asas persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat insan (Ihromi, 2000 : 120). Konvensi yang terdiri dari 30 pasal ini meletakkan kewajiban kepada negara penandatangan maupun penerima konvensi untuk melaksanakan tindakan yang bertujuan menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di aneka macam bidang kehidupan. Terdapat enam bidang yang menerima perhatian dan pengaturan dalam konvensi ini yaitu bidang sosial budaya, bidang politik, bidang hukum, bidang ketenagakerjaan, bidang ekonomi, dan bidang sipil.



BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Perkosaan dan pelecehan istri (kekerasan dalam rumah tangga) yaitu yang paling umum terjadi di antara banyak masalah lain perihal kekerasan terhadap perempuan. Perempuan pun bukan satu – satunya pihak utama yang bertanggung jawab untuk hal ini namun lebih kepada laki – laki dan patriarki sosial. Keluarga yang dikenal masyarakat sebagai tempat berlindung yang kondusif tidak sanggup menjadi satu – satunya tempat perempuan mencari pertolongan. Pada akhirnya, kedua tipe kekerasan ini bukanlah hal yang jarang terjadi namun sangat sering dan membutuhkan penanganan yang lebih serius.

3.2       Saran
Menurut Suparman Marzuki terdapat beberapa hal – hal yang sanggup dilakukan untuk mengantisipasi kekerasan pada perempuan bekerjasama dengan pembentukan dan perubahan aturan yaitu :
a)      Pembaharuan KUHP, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan kesusilaan;
b)     Pembentukan aturan aturan Pembantu Rumah Tangga (PRT);
c)      Pembaharuan KUHAP, dan
d)     Mengkaji muatan pasal-pasal rencana menimbulkan KOMNAS HAM sebagai institusi yang mempunyai kekuatan yudisial, termasuk rencana pembentukan pengadilan pelanggaran HAM.
            Penanggulangan kekerasan pada perempuan pun harus melibatkan seluruh lapisan, baik individu, masyarakat, maupun pemerintah. Berikut ini merupakan cara – cara yang sanggup kita lakukan untuk pencegahan maraknya kekerasan pada perempuan :
a)      Tidak melaksanakan semua jenis kekerasan (emosional, fisik, seksual, maupun ekonomi).
b)      Tidak mau menjadi korban KDRT.
c)      Melindungi dan senantiasa berpihak pada korban KDRT.
d)     Melaporkan pada yang berwajib jikalau menyaksikan tindakan kekerasan pada perempuan.
e)      Membantu korban kekerasan untuk mendapatkan pertolongan.



DAFTAR PUSTAKA

Dispulahta POLRI. 1991. POLRI Dalam Angka. Jakarta : Dispuhlanta POLRI.

Martasaputra, Momon. 1963. Asas – Asas Kriminologi. Bandung  : Alumni

Morris, Allison. 1987. Women, Crime And Criminal Justice. Great Britain : Billing and Sons Ltd.

Pfohl, Stephen. 1994. Images of Deviance and Social Control. USA : McGraw Hill, Inc.

Purnianti dan Kemal Darmawan. 1994. Mashab dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Tong, Rosemarie. 1984. Women, Sex, and the Law. New Jersey : Rowman & Allanheld.

Vold, George B. 1979. Theoretical Criminology. Oxford : Oxford University Press.

Widiyanti, Ninik dan Yulius Waskita. 1987. Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya. Jakarta : PT. Bina Aksara.





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Makalah Sosiologi Kekerasan Terhadap Perempuan"

Post a Comment