BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Islam masuk Indonesia doikuti masukya kerajaan-karajaan islam.Sejak agama Islam mulai dianut oleh penduduk Indonesia,maka dengan itu aturan islam pun mulai berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat, kaidah aturan diajarkan sebaagai pedoman kehidupan stelah terlebihm dahulu mengalami institusionalisasi dari proses interaksi sosial inilah aturan islam mulai mangakar menjadi sistm aturan islam dalam masyarakat.
Penyebaran islam di Indonesia yang berlansung secara sedikit demi sedikit menimbulkan pemberlakuan aturan islam pun mengalami pentahapan.Selain itu Masyarakat pada umunya sudaj mempunyai aturan atau adab istiadat sendiri,sehigga ketika oslam tiba terjadi akulturasi antara aturan islam dan aturan adat.Perkembangan aturan islam juga dipengaruhu oleh kebijakan oemarintah yang sedang berkuasa.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkrmbangan aturan islam dari masa kerajaan islam hingga masa reformasi (sekarang ini).Dan juga akan dibahas faktor faktor yang mendukunf dan menghambat aturan islam di Indonesia.
1.2Rumusan Masalah
Dari Latar belakang diatas, sanggup ditarik rumusan masalah:
1. Bagaimana sejarah masuknya Islam dan perkembangan aturan islam di Indonesia ?
2. Apa faktor-fakto pendukung dan penghambat perkembangan hukum islam di Indonesia ?
1.3Tujuan
1. Mengetahui sejarah masuknya islam di Indonesia dan perkembangan aturan islam do Indonesia
2. Mengetahui Faktor-faktor yang menghipnotis perkembangan aturan islam di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 studi Pustaka
untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis mempergunakan metode Studi Pustaka. Pada metode ini penulis membaca buku-buku dan literature yang bekerjasama dengan penulisan makalah ini.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 SEJARAH PENEGAKAN HUKUM ISLAM DIINDONESIA
Pada masa 7 masehi, Islam sudah hingga ke Nusantara. Para Dai yang tiba ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah menyesuaikan diri dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah menyesuaikan diri dengan bangsa Cina, Islam masuk dari aneka macam arah salah satunya yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan), dakwah sehingga islam mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia berdasarkan Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu:
- Teori Gujarat,
- Teori Makkah dan
- Teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas memperlihatkan tanggapan wacana permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan wacana pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Untuk mengetahui lebih jauh dari teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian materi berikut ini;
1. Teori Gujarat
Teori beropini bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada masa 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
1. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
2. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah usang melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
3. Adanya kerikil nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat ialah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para andal yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada ketika timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang mengembangkan pemikiran Islam.
2. Teori Makkah
Teori ini merupakan teori gres yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lamayaitu teori Gujarat. Teori Makkah beropini bahwa Islam masuk ke Indonesia pada masa ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
1. Pada masa ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton semenjak masa ke-4. Hal ini juga sesuai dengan info Cina.
2. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana efek mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu ialah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India ialah penganut mazhab Hanafi.
3. Raja-raja Samudra Pasai memakai gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini ialah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para andal yang mendukung teori ini menyatakan bahwa masa 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu masa ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya ialah bangsa Arab sendiri.
3. Teori Persia
Teori ini beropini bahwa Islam masuk ke Indonesia masa 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini ialah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
1. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
2. Kesamaan pemikiran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
3. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja abjad Arab untuk tandatanda suara Harakat.
4. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
5. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, intinya masing-masing mempunyai kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan tenang pada masa ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada masa 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam ialah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
3.2 PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONEIA
A. Hukum Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Hukum Islam di Indonesia sesungguhnya telah usang hidup di antara masyarakat Islam itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan Islam yang didukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam.
Akar sejarah aturan Islam di tempat nusantara berdasarkan sebagian andal sejarah telah dimulai pada masa pertama hijriah, atau sekitar masa ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam tempat nusantara, di tempat utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar masa ketiga belas yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara.
Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka efek Islam semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya menyerupai kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain kesulatanan demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan maluku yang ada kerajaan gowa dan kesultanan ternate serta tidore.
Hukum islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah aturan islam di Indonesia. Dengan adanya kerajaan-kerajaan islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya aturan islam telah ada di Indonesia sebagai aturan positif. Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama’ nusantara pada masa 16 dan 17 an. Zaman para penguasa ketika itu memposisikan aturan islam sebagi aturan Negara.
Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk menuntaskan sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung dengan bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang bercorak Islam dilakukan dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada pelaksanaannya andal hokum Islam memliki tempat yang terhomat yang kemudian di kenal dengan sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga menuntaskan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan) di selesaikan di manjid.
Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan aturan Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permaslahan yang terjadi terkadang tidak bias di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melaksanakan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh. Dengan contoh ini mazhab imam 4 syafii’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali berkembang di Indonesia hingga ketika ini. Sistem hokum islam terus berjalan bersamaan dengan system hokum adab di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh Negara-negar barat di Indonesia. Semula pedagang dari Portugis, Kemudian Spayol, di susul oleh Belanda, dan Inggris.
Pada masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantarahukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), meliputi problem mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam problem ibadah.
Hukum Islam juga menjadi sistem aturan sanggup berdiri diatas kaki sendiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah hiperbola jikalau dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, aturan islam menjadi aturan yang positif di nusantara.
Islam menjadi pilihan bagi masyarakat alasannya secara teologis ajarannya memperlihatkan keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran islam dalam aneka macam dimensi kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan hingga misi kristenis
B. Masa Kolonial ( Abad XVIII-pertengahan masa XX )
Fase ini berlamgsung semenjak Belanda secara de facto menancapkan kolonialosmenya di Indonesia. Pada awal kedatangan bangsa Eropa, yaitu masa 17, mereka berkepentingan mengembangkan perjuangan perdagangan. Dari niat berdagang lambat laun muncul keinginan untuk menguasai wilayah yang kaya akan rempah-rempah.
Bangsa gila yang pernah menjajah Indonesia ialah Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Dari keempatnya, Belanda yang paling usang dan memperlihatkan efek yang cukup besar dalam aneka macam sistem kehidupan masyarakat, termasuk dalam aturan islam.
Sejarah perkembangan aturan islam pada masa kolonial terbagi dalam dua periode, yaitu periode in complexu dan periode receptie. Pereiode pertama terjadi pada masa ke-17 higgga tamat masa 18, yaitu pada ketika awal pemerintahan Belanda. Periode ini disebut juga dengan pemberlakuan aturan Islam sepenuhnya bagi orang Islam. Misalnya aturan keluarga Islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan kewarisan diaplikasikan sepenuhnya.
Bahkan pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda memperlihatkan pengukuhan atas kedudukan aturan Islam sebagai aturan yang berlaku. Melalui VOC, dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi pemberlakuan aturan waris dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang merupakan legislasi aturan Islam pertama di Indonesia.
Legislasi lainnya ialah pepakem Cirebon yang dibuat atas usul residen Cirebon, Mr.P.C.Hosselaar. Aturan ini merupakan kompilasi kitab aturan Jawa Kuno. Aturan ini digunakan sebagai pedoman dalam memutuskan kasus perdata dan pidana di wilayah Kesultanan Cirebon. Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Goa untuk dijadikan undang-udang.
Kebijakan adopsi terhadap aturan Islam berlangsung hingga masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811).hal ini tidak lepas dari kiprah andal aturan Belanda, khususnya yang menulis tenang Islam di Indonesia. Diantaranya ialah J.E.W. van Nes, A. Meurenge,dan Lodewijk Willem Christian van den Berg yang merupakan andal aturan yang paling baerjasa dalam hal ini dengan teorinya yang berjulukan receptio in complexu. Dian juga mengkonsepkan Statsblaad 1882 No.152 yang berisi ketentuan bahwa yang berlaku bagi rakyat jajahan yang beragama Islam ialah aturan Islam. Peraturan lain yang menguatkan berlakunya aturan Islam sepenuhnya bagi umat Islam ialah Reglement of het Beleid der Regering ven Nederlandsch Indie ( RR ) yang menegaskan bahwa bagi hakim Indonesia hendaklah memberlakukan aturan agama dan kebiasaan penduduk Indonesia.
Periode kedua ditandai dengan munculnya kebijakan yang bersifat intervensionis terhadap aturan Islam dan aturan adat. Masa inilah terjadi represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan aturan Islam. Periode ini di mulai ketika terjadi transfer kekuasaan dari VOC kepada pemerintah kerajaan Belanda. Pemerintah kerajaan belanda melaksanakan represi terhadap aturan Islam dengan cara mengonfrontasikannya dengan aturan adat. Kebijakan-kebijakan aturan pemerintah Belanda ditujukan untuk meminimalisir dan mengeliminir kiprah aturan Islam. Pada masa ini muncul peraturan-peratutan yang mensubordinasikan hukun Islam di bawah Hukum adat.
Upaya pertama Belanda untuk mengurangi fungsi dan kiprah system aturan Islam ialah dengan memperlemah institusi peradilannya. Pada tahun 1824 fungsi penghulu sebagai penasehat aturan dihapus. Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda mengeluarkan Stbl 1882 No.152 wacana berdirinya peradilan agama di Jawa dan Madura. Pengadilan ini dipimpin oleh seorang penghulu dan dibantu oleh para ulama. Berdirinya forum ini menjukkan adanya pengukuhan yuridis pemerintah Belanda terhadap eksistensi aturan Islam.
Akibat dari pelembagaaan peradilan Islam adalah, bahwa setiap keputusan harus diratifikasikan kepada pengadilan umum sebelm diimplementasikan. Hal ini terperinci merugikan penghulu, alasannya pada kenyataannya nasehat-nasehat dari penghulu sering dikesampingkan. Akibatnya terjadi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah kolonial. Menyadari situasi ini pada tahun 1889 dibuat Kantor Urusan Pribumi yang diharapkan bisa meningkatkan saling pengertian antarapenjajah dengan masyarakat jajahan.
Direktur pertama dari kantor ini ialah Dr. Christian Snouck Hurgronje ( 1867-1936 ). Tugas dari forum ini ialah memperlihatkan advis kepada pemerintah Belanda dalam merumuskan kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan penelitiannya Snouck menemukan metode yang menjadi dasar kebijakan pemerintah yaitu toleransi dalam kehidupan agama dan kehati-hatian dalam menghadapi ekspansi control politik islam. Menurut Snouck, aturan Islam gres berlaku bila diterima atau dikehendaki oleh aturan adat.
Upaya mengontrol operasionalisasi aturan Islam juga dilakukan Belanda. Pada tahun 1929 muncul undang-undang perkawinan yang menempatkan penghulu sebagai pejabat pemerintah yang berada di bawah kontrol bupati. Keadaan ini memudahkan Belanda untukmenguasai dan mengintervensi pelaksanaan aturan Islam.
Pada tahun 1931 keluar Stbl No.53 tahun 1931 yang berisi 3 hal, yaitu: (1) priesterred akan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan penghulu, (2) penghulu berstatus sebagai abdi pemerintah dan mendapatkan honor tetap, (3) pengadilan banding akan dibuat untuk mereview keputusan-keputusan dari pengadilan penghulu. Namun peraturan ini tidak pernah dilakanakan alasannya Belanda mengalami kesulitan keuangan. Untuk mengobati kekecewaan uma Islam pada tahun 1937 dikeluarkan Stbl No.610 wacana pembenukan Hof voor Islamietische Zaken atau Mahkamah Tinggi untuk mendapatkan kasus banding. Melalui Stlb. No. 116 tahun 1937,pemerintah memindahkan penyelesaib problem kewarisan dari peradilan Islam ke peradilan umum, dimana kasus tersebut diselesaikand dengan hukm adat. Alasannya hukm Islam belum sepenuhnya diterima oleh aturan adat. Di sini terjadi perebutan supremasi aturan antara aturan adab yang diunggulkan Belanda dengan aturan Islam.
Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam problem aturan Islam banyak ditulis dalam buku dan surat kabar. Jelas bahwa polotik aturan yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan-ketentuan agamanya ialah seni administrasi Belanda untuk meneguhkan kekusaannya di Indonesia. Apapun dilakukan Belanda untuk menguatkan posisi aturan adar dan melemahkan aturan Islam di Indinesia.
Pada masa Jepang tidak ada perubahan substantive terhadap peradilan aturan Islam dan hkum Isla. Jepang hanya mengubah nama forum peradilan Islam dari priesterrad menjadi Sooryoo Hooin dan Pengadilan Banding dari Hof voor Islamietsche menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin. Di Jawa dan Madura, forum ini menjalankan kiprah menangani kasus-kasus perkawinan, dan kadang member nasehat dalam bidang kewarisan.
C. Masa Kemerdekaan(1945 – 1998) ( Orde Lama dan Orde Baru )
Berakhirnya kolonialisme di Indonesia sekaligus juga mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan aturan islam. Kedudukan aturan islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti. Meskipun lebih banyak didominasi masyarakat Indonesia ialah muslim, tetapi bukan hal yang gampang untuk memberlakukan aturan islam di Indonesia. Pelan tapi pasti, terjadi formatisasi terhadap aturan islam, sebagai konsekuensi dipilihnya Pancasila sebagai Ideologi negara.
Pada fase aturan islam mengalami dua periode, yaitu periode persuasive-source dan authoritative-source. Periode persuasive ialah periode penerimaan aturan islam sebagai persuasive, yaitu sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya. Semua hasil sidang BPUPKI ialah sumber persuasive bagi groundwetinterpretatie Undang-Undang Dasar 1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak dimuat tujuh kata piagam Jakarta, namun aturan islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama islam berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2).
Periode kedua, authoritative-source dimulai ketika piagam Jakarta ditempatkan dalam dekrit presiden RI tahun 1959. Dalam konsiderans dekrit presiden disebutkan “bahwa kami berkeyakinan bahwa piagam Jakarta bertanggal 22 juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan ialah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.” Dengan demikian dasar aturan piagam Jakarta dan Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan dalam satu peraturan perundangan, yaitu Dekrit Presiden. Menurut aturan tata negara Indonesia, keduanya mempunyai kedudukan aturan yang sama.
Ketentuan di atas kemudian diwujudkan dalam politik aturan sebagaimana dirumuskan dalam ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960. Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan aturan perkawinan dan aturan waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Namun hingga tahun 1968, batas waktu berlakunya ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang aturan perkawinan dan kewarisan.
Memasuki orde baru, pembangunan nasional dalam bidang terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis Garis Besar Haluan Negara, yang merupakan haluan pembangunan nasional, menghendaki terciptanya aturan gres Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan impian aturan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum gres Indonesia harus memuat ketentuan-ketentuan aturan yang menampung dan memasukkan aturan agama (termasuk aturan islam) sebagai unsur utamanya. Inilah dasar yuridis bagi upaya formatisasi aturan islam dalam aturan nasional.
Formatisasi aturan islam dilakukan dengan upaya mentransformasikan aturan islam ke dalam aturan perundangan. Dalam peraturan perundang-undangan kedudukan aturan islam semakin jelas. Dari sinilah kemudian muncul legislasi aturan islam yang bersifat nasional, yaitu UU No. 1/1974 wacana Perkawinan dan UU No.28/1977 wacana Perwakafan Tanah Milik. Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 memutuskan bahwa perkawinan ialah sah apabila dilakukan berdasarkan aturan agama masing-masing. Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan aturan dari yang rasial etnis (masa kolonial) kepada aturan yang berdasar keyakinan agama.
Institusi peradilan islam juga menenpati posisi yang besar lengan berkuasa berdasarkan UU No.14/1970 wacana kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata perjuangan negara. Jenis peradilan tersebut meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat pembanding. Dengan demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan resmi yang dibuat oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat islam.
Keberadaan Peradilan Agama semakin terperinci dengan ditetapkannya UU No.7/1989 wacana kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi Peradilan Agama mempunyai dua ukuran, yaitu asas personalitas dan bidang aturan kasus tertentu. Dalam Bab II Pasal 49-53 kewenangan peradilan agama meliputi bidang-bidang aturan perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah. Dari bidang-bidang tersebut sanggup dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama ialah biadang aturan keluarga (ahwal al-syakhsiyah).
Berdasarkan kompetensinya, maka diharapkan hokum materil sebagai pedoman bagi para hakim peradilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Dalam menangani perkara, hakim peradilan Agama memakai kitab fikih klasik sebagai dasar putusannya. Kitab fikih yang digunakan antara satu peradilan agama dengan peradilan agama yang lain tidak sama. Hal ini menimbulkan adanya putusan yang berbeda dalam problem yang sama.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dikeluarkanlah keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25/1985 wacana penunjukan pelaksanaan pengembangan aturan Islam. Proyek ini dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur fikih, wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke negara-negara yang penduduknya lebih banyak didominasi islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan sebagai dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju aturan nasional. Format KHI terbagi kedalam tiga buku. Buku satu berisi wacana aturan perkawinan, buku dua wacana aturan kewarisan dan buku tiga wacana aturan perwakafan.
Pemberlakuan aturan islam semakin menguat dan melebar ke aneka macam bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan mempunyai sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat dan Makanan (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia. Disamping itu, muncul perundang-undangan yang mendukung terlaksananya aturan islam, menyerupai UU.No.17/1999 wacana Penyelenggaraan Haji dan UU.No38/1999 wacana Pengelolaan Zakat.
Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi aturan agama Islam dalam aturan nasional sanggup berupa aturan umum yang berlaku nasional atau menjadi aturan khusus yang berlaku bagi umat islam saja. Hukum islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No.1/1974 wacana perkawinan, PP No.28/1977 Tentang Perwakafan, dan UU No.7/1992 Tentang Perbankan, di mana di dalamnya diakui eksistensi Bank Islam. Formatisasi yang berupa aturan khusus terlihat dalam inpres No.1/1991 wacana Kompilasi Hukum Islam, UU No.17/1999 wacana Penyelenggaraan Haji, dan UU No.38/1999 wacana Pengelolaan Zakat.
C. Masa Reformasi (1998 - sekarang)
Ketika masa reformasi menggantikan orde gres (tahun 1998), keinginan mempositifkan aturan islam sangat kuat. Perkembangan aturan islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil aturan islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam problem aturan privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah aturan publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang wacana Otonomi Daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya ialah UU No.22/1999 wacana pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No.31/2004 wacana otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum.
Akibatnya bagi perkembangan aturan islam ialah banyak daerah menerapkan aturan islam. Secara garis besar, pemberlakuan aturan islam di aneka macam wilayah Indonesia sanggup dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan aturan islam sepenuhnya sanggup dilihat dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penegakan model ini bersifat menyeluruh alasannya bukan hanya memutuskan materi hukumnya, tetapi juga menstruktur forum penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan ialah Sulawesi selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite Persiapan Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan aturan islam di Indonesia. Dasar hukumnya ialah UU No.44 tahun 1999 wacana Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, diantaranya ialah:
a. Penerapan syari’at islam diseluruh aspek kehidupan beragama,
b. Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum.
c. Pemasukan unsur adab dalam sistem pemerintah desa, dan
d. Pengakuan kiprah ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Tindak lanjut dari Undang-undang di atas ialah ditetapkannya UU No.18 tahun 2001 wacana Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam.
Fenomena pelaksanaan aturan islam juga merambah daerah-daerah lain di Indonesia, meskipun polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah, maka munculah perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II. Daerah-daerah tersebut antara lain: provinsi Sumatera barat, kota Solok, Padang pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tanggerang, Cianjur, Gresik, Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi.
Materi Peraturan Daerah syaria’at Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda syari’at, maka isinya meliputi masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, Penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan sebagainya.
3.3 FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Untuk mengetahui bagaimana masa depan kedudukan dan keberlakuan aturan islam di Indonesia, harus dilihat dari aneka macam faktor yang mendukung adanya penerimaan (sustainsi) dan juga faktor yang menghambat atau melaksanakan resistensi. Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal, yaitu bentuk negara dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Bentuk negara Indonesia sudah dianggap final, dan pluralitas masyarakat juga sebuah kenyataan sosial. Dengan demikian yang sanggup dilakukan ialah mengetahui aneka macam peluang atau prospek sekaligus melihat penghambat bagi implementasi aturan islam di Indonesia.
Secara politis maupun sosiologis terdapat faktor-faktor yang dianggap sebagai pendukung bagi pemberlakuan aturan islam di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah: kedudukan aturan islam, penganut yang mayoritas, ruang lingkup aturan islam yang luas, serta pertolongan aktif organisasi kemasyarakatan islam. Kedudukan huku islam sejajar dengan aturan yang lain, dalam artian mempunyai kesempatan yang sama dalam pembentukan aturan nasional. Namun, aturan islam mempunyai prospek yang lebih cerah berdasarkan aneka macam alasan, baik alasan historis,yuridis,maupun sosiologis.Nilai-nilai huku islam mempunyai lingkup yang lebih luas, bahkan sebagian nilai-nilai tersebut sudah menjadi potongan dari kebudayaan nasional. Sedangkan aturan ialah potongan dari kebudayaan.
Faktor lain, kenyataan bahwa islam merupakan agama dengan penganut lebih banyak didominasi merupakan aset yang menjanjikan. Dengan modal lebih banyak didominasi ini, umat islam bisa masuk dalam aneka macam forum pemerintahan, baik eksekutif,legislatif, maupun yudikatif, yang mempunyai kewenangan memutuskan politik hukum. Logikanya, semakin banyak populasi muslim, maka semakin banyak pula aspirasi yang masuk dan terwakili. Namun realitas ini tidak serta merta menjadi menjadi niscaya, alasannya sangat tergantung pada bagaimana keinginan dan upaya umat islam mengimplementasikannya.
Faktor pendukung lain terletak pada cakupan bidang aturan yang luas. Dengan keluasan bidangnya, aturan islam merupakan alternatif utama dalam pembentukan tata hukum,karena bisa mengakomodasi aneka macam kebutuhan aturan masyarakat. Pelaksanaannya sanggup dilakukan dengan mengambil nilai-nilai islam yang bersifat universal (sebagai norma abstrak) untuk dijadikan sebagai konsep teoritis guna dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Faktor keempat yang juga penting ialah kiprah aktif forum atau organisasi islam. Secara struktural eksistensi organisasi-organisasi islam dalam sistem politik Indonesia menjadi pengimbang bagi kebijakan pemerintah. Kontribusi nyata dari aneka macam organisasi islam setidaknya menjadi daya tawar dalam pengambilan aneka macam keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Keempat faktor diatas memperlihatkan citra betapa aturan islam mempunyai peluang yang besar untuk menjadi aturan nasional. Namun semua itu tergantung bagaimana umat islam mengelola potensi tersebut. Hal yang terpenting ialah menyatukan visi tenteng islam, tanpa kesatuan islam maka impian untuk mengimplementasikan aturan islam hanya akan menjadi angan-angan, atau hanya tampil dalam wacana diskusi di kalangan umat islam.
Disamping peluang atau prospek positif di atas, perlu dicermati juga kendala yang menjadi penghalang bagi berlakunya aturan islam di Indonesia. Secara sederhana faktor yang tidak mendukung prospek aturan islam di Inddonesia tediri dari faktor internal dan ekstenal. Faktor internal berasal dari kurang ‘kafahnya’ (maxsimal) institusionalisasi dan pandangan dikotomis terhadap aturan islam. Sedangkan faktor eksternalnya ialah efek politik aturan pemerintah terhadap bidang-bidang aturan tertentu.
Belum kafahnya pelembagaan aturan Islam di Indonesia terlihat dari pandangan dikhotomis dalam implementasinya. Hukum-hukum yang bekerjasama dengan problem perdata atau hubungan antar pribadi hampir sepenuhnya mendapat perhatian khusus. Namun hukum-hukum selainnya, menyerupai aturan pidana dan ketatanegaraan belum tersentuh atau minim perhatian. Sehingga penetapan peraturan-peraturan atau aturan yang berlaitan dengan problem tersebut belum ada campur tangan yang serius. Hal ini tidak lepas dari kiprah kolonial Belanda yang melaksanakan represi dan eliminasi terhadap aturan Islam. Pada masa kerajaan islam, aturan Islam berlaku sepenuhnya, dalam arti menjadi pegangan para hakim/ qadhi untuk memutuskan jenis perkara, baik perdata maupun pidana. Intervensi penjajah dengan kekuatan politiknya menimbulkan terjadinya dikhotomis, dimana aturan pidana dan tata negara digantikan dengan sistem aturan Barat/ Eropa.
Pola dikhotomi aturan privat dan publik ini berlanjut sesudah Indonesia merdeka. Pemerintah yang gres hanya memberi kewenangan pemberlakuan aturan perdata Islam. Sedangkan aturan publik menjadi monopoli pemerintah,yang masih memberlakukan aturan Belanda. Pengadilan Agama sebagai institusi resmi, hanya berwenang menangani perkara-perkara yang terjadi diantara orang-orang yang beragama Islam,misalnya dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, serta sadaqoh yang dilaksanakan berdasarkan aturan Islam.
Kurang melembagakan aturan publik Islam ini juga dipengaruhi oleh faktor politik hukum. Negara Indonesia bukanlah negara agama, permasalahan penetapan aturan ialah kekuasaan negara, termasuk problem agama menjadi wewenang negara. Sehingga dalam hal ini umat Islam sepenuhnya tunduk pada undang-undang yang diberikan oleh negara. Menyikapi hal ini perlu adanya penegasan kaidah agama dengan cara penegakan diri semoga para penganutnya tidak melanggar pemikiran agamanya. Dengan demikian, syariat Islam tidak hanya didakwahkan tetapi diaktualisasikan dan disosialisasikan guna membatasi kelemahan dan kekurangan aturan positif.
Dari paparan di atas sanggup disimpulkan bahwa perkembangan aturan Islam di Indonesia intinya ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat Islam sendiri dan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Ketika kedua hal tersebut bergayut, maka pemberlakuan aturan Islam menjadi mudah. Namun sebaliknya jikalau kedua hal tersebut bertentangan orientasinya, maka pemerintah menjadi pihak yang memilih kedudukan aturan Islam. Kondisin inilah yang mewarnai sejarah aturan Islam di Indonesia semenjak masa awal hingga masa kontemporer sekarang. Seberapa besar keinginan umat Islam dan seberapa besar lengan berkuasa bargaining powernya menjadi faktor yang memilih eksistensi aturan Islam.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada masa 7 masehi, Islam sudah hingga ke Nusantara. Masi banyak faktor-faktor yang menghambat perkembangan aturan islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
- https://doytutorial.blogspot.com/search?q=Perkembangan-hukum-islam-Indonesia-versi-makalah
0 Response to "Contoh Dan Klarifikasi Makalah Implementasi Aturan Islam Di Indonesia"
Post a Comment