Contoh Dan Klarifikasi Resume Tradisi Dan Budaya Masyarakat Jawa Dalam Perspektif Islam




TRADISI DAN BUDAYA MASYARAKAT JAWA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh:
NIM: 16.22.00079
Masyarakat Jawa sangat kental dengan dilema tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Di antara faktor penyebabnya yaitu begitu banyaknya orang Jawa yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya.
Nama-nama Jawa juga sangat akrab di pendengaran bangsa Indonesia, begitu pula jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara di Indonesia. Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya menunjukkan warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga besar lengan berkuasa dalam keyakinan dan praktek keagamaan. Masyarakat Jawa yang mempunyai tradisi dan budaya yang banyak dipengaruhi anutan dan kepercayaan Hindhu dan Buddha terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah mempunyai keyakinan atau agama yang berbeda, seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya. Masyarakat Jawa yang secara umum dikuasai beragama Islam hingga kini belum bias meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang sanggup disesuaikan dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga budaya yang bertentangan dengan anutan Islam. Masyarakat Jawa yang memegangi anutan Islam dengan kuat (kaffah) tentunya sanggup menentukan dan memilah mana budaya Jawa yang masih sanggup dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak mempunyai pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan anutan agama yang mereka anut. Fenomena mirip ini terus berjalan hingga sekarang.
 Gambaran masyarakat Jawa mirip di atas menjadi penting untuk dikaji, terutama terkait dengan praktek keagamaan kita sekarang. Sebagai umat beragama yang baik tentunya kita perlu memahami anutan agama kita dengan memadai, sehingga ajaran agama ini sanggup menjadi contoh kita dalam berperilaku dalam kehidupan kita. Karena itulah, dalam goresan pena yang singkat ini akan diungkap dilema tradisi dan budaya Jawa dalam perspektif anutan Islam. Apakah tradisi dan budaya Jawa ini sesuai dengan ajaran Islam atau sebaliknya, bertentangan dengan anutan Islam. Untuk mengawali uraian tentang dilema ini penting kiranya terlebih dahulu dijelaskan siapa masyarakat Jawa itu. Setelah itu akan dijelaskan bagaimana munculnya Islam Kejawen dengan berbagai fenomena keagamaan yang terus mengakar hingga kini ini, terutama di kalangan masyarakat Jawa.
            Masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya yaitu orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan banyak sekali ragam dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa yaitu mereka yang tinggal di tempat Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua tempat tersebut. Secara geografis suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang mencakup Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri, sedangkan di luar wilayah tersebut dinamakan Pesisir dan Ujung Timur. Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan dua bekas kerajaan Mataram pada era XVI yaitu sentra dari kebudayaan Jawa. Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup sebab sejarah, tradisi maupun agama. Hal ini sanggup dilihat pada ciri-ciri masyarakat Jawa secara keseluruhan. Sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam kekerabatan masyarakat Jawa
Dalam budaya masyarakat Jawa, indikasi yang menempel khususnya pada orang Jawa tidak hanya nampak secara fisik, contohnya busana atau pakaian yang dikenakan, namun juga etika, moralitas, dan sikap hidup. Etika, antara lain sanggup dilihat dari unggah ungguh dan sopan santun. Moralitas tercermin dalam ukuran baik-buruk, benar-salah, masuk akal atau tidak wajar, rasa malu melaksanakan hal yang menyimpang. Sikap hidup orang Jawa antara lain:
  • Sikap hidup religius, yaitu diantaranya menahan diri dari godaan berbasai hal untuk membersihkan batin, tidak materalistik, tidak sombong, tidak suka berbohong.
  • Sikap hidup prasaja, yaitu segala hal disesuaikan dengan takaran kewajaran.
  • Solider, yaitu mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadi, rasa setia kawan, tepo seliro, dsb.
  • Mengutamakan “ajining diri” (kehormatan, harkat, martabat, kualitas, eksistensial) dari pada kepemilikan.
Selain keempat hal di atas, sikap hidup orang Jawa juga tercermin dalam Hastasila (delapan sikap dasar) yang terdiri dari Trisila dan Pancasila yaitu:
  1. Trisila Yaitu merupakan pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap insan melalui akal dan cipta insan dalam menyembah Tuhan yang meliputi: a. Eling atau sadar Ialah selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal melalui perwujudan tiga sikap (tripurusa), yaitu sukma kawekasan, sukma sejati, dan roh suci. b. Pracaya atau percaya Ialah percaya terhadap sukma sejati atau utusannya yang disebut guru sejati. c. Mituhu Ialah setia dan selalu melaksanakan segala perintah-Nya yang disampaikan melalui utusan-Nya.
  2. Pancasila Terdiri dari lima sikap hidup, yaitu: a. Rila Ialah keikhlasan hati sewaktu menyerahkan segala milik, kekuasaan. Dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan. b. Nerimo Ialah berkaitan dengan ketentraman hati, yang berarti tidak menginginkan milik orang lain dan iri hati terhadap kebahagiaan orang lain, melainkan bersyukur kepada Tuhan. c. Temen Ialah menetapi komitmen atau ucapannya, baik yang dilakukan secara lisan, goresan pena maupun di dalam hati. d. Sabar Ialah kuat terhadap segala cobaan dan tidak frustasi yang dikarenakan kuat imannya, luas pengetahuan dan wawasannya. e. Budi luhur Ialah apabila insan selalu menjalankan segala watak dan sifatnya mirip Tuhan Yang Maha Mulia mirip kasih sayang terhadap sesama, suci, adil, dan tidak membeda-bedakan.
Selain sifat di atas, juga terdapat sikap umum masyarakat Jawa, antara lain:
  • Sikap Feodalistik merupakan sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus, sebab adanya perbedaan pangkat, usia, keturunan, kedudukan, dan sebagainya yang di implementasikan ke dalam bahasa dan budaya. Sehingga muncul yang disebut unggah ungguh dalam kalangan feodalisme yang sangat diperhatikan dan diradisikan. Tradisi dan budaya feodalisne hingga kini sedemikian kuatnya mengakar dalam masyarakat Jawa.
  • Sikap keberagamaan Ungkapan membangun mengenai konsep “kautamaning ngaurip” (pencapaian kehidupan ideal) atau insan utama, yaitu insan yang cerdik bergaul, maupun mau bergaul (ajur-ajer) dengan siapa saja, dan tidak pernah mewaspadai orang lain. Kalau orang kini menamakan “ajur-ajer” ini dengan istilah orang yang mempunyai kecerdasan afejtif (AQ). Orang yang ngunggul-unggulake senderung sombong dan tinggi hati. Orang demikian ini dalam pergaulan masyarakat tidak disukai. Jadi, insan utama yaitu orang yang tidak suka ngunggul-unggulake pangkat/kedudukan, derajat/keturunan, kekayaan walaupun dalam kenyataannya untuk mempunyai pangkat, kedudukan, dan kekayaan sangat sulit.
  • Sikap Fatalistik artinya pasrah, sebab orang Jawa beranggapan bahwa hidup ini hanya sebentar saja, diibaratkan “mampir ngombe”. Sehingga, hal-hal apapun yang ada di dunia ini jangan dianggap sesuatu yang dicapai mati-natian. Artinya hidup yang hanya sebentar dan satu kali ini tidak usah dibentuk susah. Segala hal yang terkait dengan nasib atau beja cilaka (enak dan susah) telah menjadi suratan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Ada kiasan aja ngaya ndak gelis tuwa (jangan terlalu ambisius nanti ceoat tua) dan urip sepisan wae ora usah ngaya (hidup sekali tidak usah terlalu kerja keras)
Keberadaan wayang Wayang dianggap sebagai identitas simbolik insan Jawa, dalam banyak sekali lakon dari para tokohnya memuat dan berperan sebagai “nilai edukatif” sekaligus sanggup dijadikan tuntunan maupun tontonan masyarakat. Implikasinya, orang-orang Jawa senang mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh yang dianggap baik, mirip Seno, Permadi, Abimanyu, dan sebagainya. Sebaliknya, orang-orang Jawa tidak senang menggunakan nama-nama yang berasal dari keluarga Kurawa, seperti: Dursasana, Kumbakarna, dsb. Walaupun demikian, terdapat tokoh-tokoh yang diunggulkan seperti: Kumbakarna, Suryaputra, Suwanda,dsb.

Tepo saliro Adalah suatu sikap orang Jawa yang berusaha menempatkan diri dalam keasaan orang lain hingga sanggup mengerti mengapa orang lain hingga sanggup melaksanakan perbuatan tertentu. Dengan teposaliro orang akan paham mengenai latar belakang perbuatan seseorang atau mengapa orang itu melaksanakan suatu perbuatan, dan kesudahannya sanggup memakluminya. Nilai positif sikap teposaliro yaitu tidak akan gampang menyalahkan orang lain.

Mawas diri Adalah intropeksi yaitu meninjau ke dalam diri, dalam hati nurani untuk mengetahui benar tidaknya tindakan yang diperbuat. Mawas diri ini sebagai upaya perenungan hingga ego yang paling dalam (hati nurani) yang sifatnya jujur. Sebab denan mawas diri seseorang diperlukan sanggup menetralkan emosinya, sehingga sanggup membesakan mana yang baik dan mana yang jelek bagi diri maupun orang lain.

Budi luhur Budi luhur sanggup dicapai dengan menyelasankan antara logika dan rasa, antara jasmani dan rohani, antara teori dan pengalaman, antara dunias dan akhirat. Kaprikornus konsep akal luhur itu merupakan konsep yang menekankan pada aspek keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan.

Gugon tuhon Istilah “gugon tuhon” padan katanya takhayul. Sebagian besar masyarakat Jawa masih mempercayai adanya gugon tuhon ini. Karena kepercayaan ini sebagai peninggalan paham hindu yang berabad-abad berkuasa di Jawa. Kepercayaan ini menunjukan bahwa masih ada makhluk lain selain insan di bumi ini. Makhluk tersebut dianggap mistik dan ikut menempati bumi ini tolong-menolong manusia. Kaprikornus konsep gugon tuhon ini merupakan salah satu upaya insan Jawa untuk selaras dan serasi sengan lingkungan gaib. Mengingat bahwa insan Jawa senang akan keselarasan dan keharmonisan insan dengan dirinya sendiri, insan dengan lingkungan (baik lingkungan sesama maupun lingkungan gaib), dan manisia dengan Tuhan. Itu semua dimaksudkan untuk mencapai ketentraman hidup.

Keperwiraan Sifat ini muncul dari budaya feodalistik orang Jawa yang masih mempertahankan paham feodalistiknya. Sikap perwira ini tentunya juga disebut mempertahankan gengsi. Sifat perwira ini tentunya positif apabila dilaksanakan secara proporsional. Tetapi kalau sikap perwira ini “over dosis” maka sikap negatifnya akan muncul. Orang yang bersifat perwira/percaya diri hingga hiperbola akan terlihat “kemlinthi”, over acting, dan tinggi hati. Sikap perwira masyarakat Jawa ini lebih banyak dilatarbelakangi oleh obsesinya untuk menjadi insan utama. Misalnya sikap perwira positif, yaitu tidak mau kalah dalam mengeluarklan uang. Sikap perwira negatif yaitu sudah miskin diberi makan tidak mau alasannya masih mempunyai beras.



KESIMPULAN
Masyarakat Jawa sangat kental dengan dilema tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Di antara faktor penyebabnya yaitu begitu banyaknya orang Jawa yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya menunjukkan warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga besar lengan berkuasa dalam keyakinan dan praktek keagamaan. Masyarakat Jawa yang secara umum dikuasai beragama Islam hingga kini belum bias meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
secara antropologi budaya yaitu orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan banyak sekali ragam dialeknya secara turun temurun.
Sikap Feodalistik merupakan sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus, sebab adanya perbedaan pangkat, usia, keturunan, kedudukan, dan sebagainya yang di implementasikan ke dalam bahasa dan budaya.
Sikap Fatalistik artinya pasrah, sebab orang Jawa beranggapan bahwa hidup ini hanya sebentar saja, diibaratkan “mampir ngombe”. Sehingga, hal-hal apapun yang ada di dunia ini jangan dianggap sesuatu yang dicapai mati-natian.
Sikap keberagamaan Ungkapan membangun mengenai konsep “kautamaning ngaurip” (pencapaian kehidupan ideal) atau insan utama, yaitu insan yang cerdik bergaul, maupun mau bergaul (ajur-ajer) dengan siapa saja, dan tidak pernah mewaspadai orang lain.
Tepo saliro Adalah suatu sikap orang Jawa yang berusaha menempatkan diri dalam keasaan orang lain hingga sanggup mengerti mengapa orang lain hingga sanggup melaksanakan perbuatan tertentu.
Budi luhur Budi luhur sanggup dicapai dengan menyelasankan antara logika dan rasa, antara jasmani dan rohani, antara teori dan pengalaman, antara dunias dan akhirat
Keberadaan wayang Wayang dianggap sebagai identitas simbolik insan Jawa, dalam banyak sekali lakon dari para tokohnya memuat dan berperan sebagai “nilai edukatif” sekaligus sanggup dijadikan tuntunan maupun tontonan masyarakat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Dan Klarifikasi Resume Tradisi Dan Budaya Masyarakat Jawa Dalam Perspektif Islam"

Post a Comment